Pages

Sebuah karya dari anak bangsa berupa bakat terpendam barangkali dapat bermanfaat bagi siapa saja yang suka.

KATA-KATA MUTIARA

Oleh : Imam Supriadi)

A. PERIHAL KEBENARAN :

1. Kebenaran bukan diukur dari banyak dan sedikitnya orang yang berpendapat melainkan diukur dari kedalaman hati yang paling dalam yakni Hati Nurani.

2. Nyatakanlah yang benar itu Benar dan yang salah itu Salah, walau pahit sekalipun.

3. Menyatakan kebenaran tidak mesti berbuah pada hari yang sama.

4. Mengusung kebenaran pastilah banyak tentangan dan tantangannya.

5. Kebenaran sejati hanya ada di akhirat kelak. Tetapi kebenaran di dunia bukanlah tidak diperjuangkan, meski banyak tentangan dan tantangannya.

6. Berbuat kebaikan belum tentu berbuah kebenaran, tetapi yakinlah jika berbuat kebenaran akan berbuah kebaikan.

B. PERIHAL CINTA :

1. Mencintai seseorang tidaklah harus mengorbankan segala-galanya, karena akan berakibat mencintai dengan secara membabibuta.

2. Cinta tidak diukur dari seberapa banyak orang yang dicintai telah memberikan harta dan bendanya, melainkan seberapa dalam ketulusan hati yang telah diperlihatkan untuk yang dicintainya.

3. Orang yang beriman mengukur cintanya berdasarkan tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadits.

4. Orang yang beriman itu cintanya semata hanya untuk Allah dan Rosulnya, bukan untuk kekasihnya atau siapapun yang bisa menjebaknya menjadi imannya berat sebelah.

5. Isteri yang sholihah adalah isteri yang bersolek karena tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Artinya, ia bersolek karena untuk kebutuhan suami tercinta, demi menjaga keutuhan cintanya kepada suami tercinta.

6. Cinta karena nafsu akan cepat pudar, tetapi Cinta karena Iman akan tetap langgeng.

7. Isteri yang setia adalah isteri yang bisa menjaga martabat suami dan dirinya.

8. Berbahagialah sepasang kekasih yang bisa selamat sampai ke pelaminan karena telah menjaga ‘harta’ yang paling berharga, karena ‘harta’ itu hanya diberikan ketika ijab qobul selesai diucapkan dihadapan Penghulu, Wali dan Para Saksi.

Selasa, 13 Oktober 2009

TUGAS KULIAH

KOMPILASI HUKUM ISLAM

Kompilasi disini berarti kegiatan menghimpun atau mengumpulkan. Hukum Islam yang dimasukkan kedalam Hukum yang berlaku di Indonesia atau untuk kodifikasi kedalam sistem Hukum Nasional. Maksudnya tak lain adalah upaya memberlakukan tata peradilan bagis masyarakat Indonesia yang beragama Islam, karena sebagian dari penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Kompilasi Hukum Islam berlaku sah dan dijadikan pedoman bagi seluruh peradilan agama di Indonesia berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991 tertanggal 22 Juli 1991.

Pengertian Kompilasi Hukum Islam
Dalam hal penyusunan Kompilasi Hukum Islam, tak ada memberikan pengertiannya secara tegas tentang Kompilasi Hukum Islam, akan tetapi menurut pakar Hukum Indonesia Kontemporer, H. Abdurrahman menyatakan bahwa kompilasi Hukum Islam di Indonesia merupakan rangkuman dari berbagai kitab yan ditulis oleh ulama fikih yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan.


Himpunan inilah yang dinamakan Kompilasi.
Lebih lanjut H. Abdurrahman mengemukakan bahwa materi atau bahan-bahan hukum dimaksud telah diolah melalui proses dan metode tertentu, kemudian dirumuskan dalam bentuk yang serupa dengan peraturan perundang-undangan. Bahkan ini kemudian ditetapkan berlakunya melalui sebuah keputusan Presiden untuk selanjutnya dapat digunakan oleh hakim Pengadilan Agama dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya.

Latar Belakang Lahirnya Kompilasi Hukum Islam
Negara Republik Indonesia mayoritas penduduknya beraga Islam. Dalam menyelesaikan berbagai persengketaan di antara umat Islam tersebut, sistem hukum yang digunakan adalah hukum Adat, hukum Islam dan hukum Barat. Hukum Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya ke wilayah Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam yang kemudian berdiri, telah melaksanakan hukum Islam dalam menyelesaikan berbagai kasus di wilayah kerajaan masing-masing. Kerajaan-kerajaan itu di antaranya adalah Samudera Pasai (pertengahan Abad ke 13-1524, Aceh Darussalam (1514-870), kerajaan Demak (1500-1550), Cirebon (berdiri abad ke-16), Banten (1568-1813), dan lain-lain.

Penjajahan Belanda ketika memasuki wilayah Indonesia tidaklah membawa pengaruh terhadap penghapusan hukum Islam. Bahkan Hukum Islam diakui oleh pemerintah kolonial secara tertulis sebagai hukum yang ditetapkan untuk menyelesaikan sengketa keluarga di antara umat Islam. Pengakuan tertulis dari pemerintah kolonial Belanda itu dapat dilihat pada Pasal 75 Regering Rglemen (RR) tahun 1855 dan dipertegas loagi pada Stadblad (Stbl. 1882 No. 152 jo. 1937 No. 116 dan 610 untuk Jawa dan Madura), kerapatan Kadi untuk Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan (Stbl. 1937 No. 638 dan 639). Sekalipun demikian, dalam masa penjajahan Belanda, bidang-bidang Hukum Islam yang diberlakuakn di peradilan, mengalami pasang surut dan pembatasan-pembatasan.

Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, berbagai undang-undang telah disusun dalam mengatur Peradilan Agama dan sistem hukum yang diberlakukan dalam Yurisdiksi Pengadilan Agama. Diantaranya adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 dan Undang-Undang No. 36 Tahun 1954, keduanya mengatur tentang kesatuan dan kpastian hukum dalam pencatatan nikah, talak, dan rujuk bagi umat Islam.

Sejalan dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah dikeluarkan pula Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 melalui Surat Edaran Kepala Biro Peradilan Agama No. B/I/735 tanggal 18 Pebruari 1958 yang salah satu isinya menyebutkan: “Untuk mendapaytkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan perkara, maka para hakim Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah dianjurkan agar mempergunakan sebagai pedoman kitab-kitab tersebut di bawah ini….” Banyaknya buku pedoman itu menunjukkan bahwa hukum Islam yang ditetapkan dalam Peradilan Agama ketika itu belumlah pasti dan satu.

Ktab-kitab yang dianjurkan dalam Surat Edaran itu berjumlah 13 buah dari 13 pengarang yang semuanya merupakan kitab fikih Mazhab Syafi’i. buku-buku tersebut adalah: 1. Al-Bajuri, 2. Fath Al-Mu’in dengan syarahnya, 3. Syarqawi ‘Ala Al-Tahrir, 4. Qalyubu/Mahali, 5. Fath Al-Wahhab dengan syarahnya, 6. Tuhfah, 7. Targib Al-Musta, 8. Qawanin Syar’iyyah ibn Yahya, 9. Qawanin Asy-Syari’ah Sadaqah Dhi’an, 10. Syamsuri Fi Al-Fara’id, 11. Bugyah Al-Musytarsidin, 12. Al-Fiqh ‘Ala Al-Mazahib Al-Arba’ah dan 13. Mugni A-Muhtaj.

Menurut Rahmat Djatnika penunjukkan kitab-kitab ini sebagai pedoman dalam pelaksanaan Hukum Islam memperlihatkan adanya usaha pemerintah ketika itu untuk menyatukan rujukan Hukum Islam memperlihatkan adanya usaha pemerintah ketika itu untuk menyatukan rujukan Hukum Islam yang akan diterapkan dalam sengketa yang diselesaikan di peradilan Agama.Hal ini juga sekaligus menunjukan pola pemikiran hukum yang mempengaruhi penegakan hukum Islam di Indonesia, akan tetapi materi yang termuat dalam kitab-kitab fiqih Mazhab Syafi’i tersebut belum memadai sehingga seringkali dikeluarkan intruksi dan surat edaran yang bertujuan untuk menyeragamkan penyelesaian perkara kasus demi kasus.

Menurut Bustanul Arifin, seorang ahli hukum kontemporer di Indonesia menyatakan bahwa menjadikan kitab-kitab fiqih tersebut sebagai rujukan hukum material pada pengadilan agama menimbulkan keruwetan lain, yaitu akan terjadi pembangkangan atau setidaknya keluhan bagi pihak yang dikalahkan dalam pengadilan. Pembangkangan dan keluhan muncul akibat buku rujukanyang digunakan menurutnya tidak tepat, karena pihak yang kalah ini pun memiliki buku rujukan yang intinya ia harus menang dalam perkara tersebut.
Lebih dari itu, Bustanul Arifin mengatakan bahwa para hakim sendiri tidak sependapat dalam merujuk kitab-kitab yang telah diterapka tersebut dalam memutuskan suatu perkara.

Situasi Hukum Islam sperti tergambar di atas mendorong Mahkamah Agung RI untuk mengadakan Kompilasi Hukum Islam. Hukum Islam apabila tidak di kompilasi, maka akan berakibat 1). Ketidak seragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut dengan Hukum Islam, 2). Ketidak jelasan bagaimana dalam menerapkan syari’ah itu, dan 3). Tidak mampu menggunakan alat-alat yang telah tersedia dalam undang-undang Dasar 1945 dan perundang-undangan lainnya.

Akibat dari perbedan-perbedaan yang cukup menonjol dalam penerapannya kandungan ke-13 buku di atas, demi kesatuan Hukum Islam, maka pemerintah merasa perlu menyusun sebuah undang-undang tentang perkawinan. Untuk itu, pada tahun 1974 setelah melalui perdebatan yang panjang No. 1 tahun 1974 tentang perkawianan dan peraturan pemerintah no .28 tahun 1977 tentang perwakafan Tanah Milik. Kedua peraturan ini, telah mengarah kepada satu Hukum Islam tertulis, sehingga kesatuan penerapan hukum dan kepastian hukum dan kepastian hukum semakin baik di lingkungan Peradilan Agama.

Namun, karena Peradilan Agama di Indonesia mempunyai 2 induk, maka pemerintah pun merasa perlu mengatur tata cara pembinaan peradilan agama oleh Departemen Agama dan Mahkamah Agung. Untuk itu, dalam rangka menghilangkan perbedaan penafsiran tentang pelaksanaan undang-undang No.1 Tahun 1974, maka pada tahun 1976 dibentuk panitia kerjasama Departemen Agama-Mahkamah Agung yang disebut sebagai Pankermahagam (panitia kerjasama Mahkamah Agung Departemen Agama), berdasarkan surat keputusan Mahkamah Agung No. 4/MA/1976. Panitia inin berusaha memikirkan dan mewujudkan kesatuan hukum dan bentuk hukum tertulis bagi Hukum Islam yang sudah berlaku dalam masyarakat, yang sebagainya belum tertulis.

Panitia ini kemudian mengadakan seminar-seminar, simposium, dan lokakarya serta penyusunan kompilasi hukum tertentu, antara lain:
a). penyususnan buku himpunan dan putusan peradilan agama, 1976;
b). lokakarya tentang pengacara di pengadilan agama, 1977;
c). seminar tentang hukum waris islam, 1978;
d). seminar tentang pelaksanaan undang-undang perkawinan,1979;
e) penyusunan kompilasi peraturanperundang-undangan peradilan agama,1981;
f). simposium beberapa bidang Hukum Islam, 1982;
g). simposium sejarah peradilan agama, 1982;
h). pemyusunan himpunan mash dan hujjah syari’ah, 1983;
i). penyusunan kompilasi hukum acara peradilan agama 1,1984;
j). penyusunan kompilasi hukum acara peradilan agama 2,1985;
k). penyusunan kompilasi hukum nikah, talak, cerai, rujuk(ntcr) 1 dan 2,1985;
l). penyusunan kompilasi hukum acara peradilan agama 3, 1986. Dalam rangka kerjasama Departemen Agama dan Mahkamah Agung ini juga pada tanggal 12 Mei 1979 disepakati penunjukan 6 orang hakim agung untuk menangani permasalahan kasasi yang berasal dari lingkungan pengadilan agama.
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang mengatur ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, keterlibatan Mahkamah Agung dalam membina pengadilan agama yang secara administratif, organisasi dan keuangannya berada di bawah Departemen Agama, semakin kuat; khususnya yang menyangkut pembinaan tekhnis yurisdiksi.

Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 ini baru berjalan dengan baik di Pengadilan Agama setelah ditandatanganinya Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI No. 01, 02, 03 dan 04/SK/I/1983 dan No. 1, 2, 3 dan 4 Tahun 1983. SKB ini merupakan jalan pintas untuk memberlakukan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 di lingkungan peradilan Agama, karena peraturan pemerintah tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tersebut masih dalam proses penyusunan.

Melalui kerjasama intensif antara Departemen Agama dan Mahkamah Agung dalam pembinaan Pengadilan Agama, Mahkamah Agung merasakan adanya beberapa kelemahan di lingkungan peradilan Agama, khususnya tentang Hukum Islam yang diterapkan. Hukum Islam yang didasarkan kepada ke-13 kitab di atas, dalam penerapannya sering simpang siur, karena dalam kitab-kitab itu terdapat banyak perbedaan pendapat ulama dalam suatu masalah.

Dalam rangka mewujudkan kesatuan dan kepastian Hukum Islam di Pengadilan Agama diperlukan kodifikasi Hukum Islam yang akan dijadikan pedoman dalam menyelesaikan berbagai persoalan di lingkungan pengadilan Agama.

Proses Kompilasi Hukum Islam
Gagsan untuk mengadakan kompilasi Hukum Islam di Indonesia untuk pertama kali diumumkan Menteri Agama RI. Munawir Sadzali, MA, (periode 1983-1993) pada bulan Pebruari 1985 dalam ceramahnya di depan civitas akademika IAIN Sunan Ampel Surabaya. Semenjak itu ide ini menggelinding dan mendapat sambutan hangat dari berbagai pihak.

Pada bulan Maret 1985, Presiden Soeharto mengambil prakarsa untuk penyusunan kompilasi Hukum Islam tersebut, sehingga pada 23 Maret 1985 Mahkamah Agung dan Departemen Agama mengeluarkan keputusan bersama No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 yang ditandatangani di Jogyakarta oleh Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama. Penandatanagan surat keputusan bersama ini dilakukan di depan ketua-ketua Pengadilan Tinggi dari peradilan umum, ketua-ketua Pengadilan Agama dan ketua-ketua Mahkamah Militer se Indonesia. Isi dari keputusan bersama ini memuat proyek pengembangan Hukum Islam melalui yurisdiksi yang disebut dengan Kompilasi Hukum Islam, yang dilaksanakan oleh sebuah tim pelaksana proyek. Tujuannya adalah untuk mengkompilasikan aturan Hukum Islam, yang mencakup wi8layah mua’malah dan yurisdiksi pengadilan Agama kedalam tiga bab: a. Kitab perkawinan, b. Kitab waris, c. Kitab wakaf, sedekah, hibah dan baitul mal.

Tim pelaksana proyek ini dipimpin oleh ketua umum, Prof.Dr. Bustanul Arifin ketika ini menjabat sebagai ketua muda Mahmakah Agung RI urusan lingkungan Perwakilan Agama. Tim pelaksana ini dilengkapi dengan beberapa bidang, yaitu: !). bidang kitab-kitab/yurisprudensi yang terdiri atas Prof. KH. IbrahimHoesen dari Majelis Ulama Indonesia, Prof.H.M.kholid.SH. dari mahkamah Agung , Dr. HA. Gani Abdullah, SH. Dari Departemen Agama RI: 3). Bidang pengumpulan dan pengelohan data terdiri atas H. Amiruddin Noer, S.H. dari Departemen Agama. Pelaksanaan proyek ini ditetapkan selama 2 tahun terhitung mulai penetapan SKB Mahkamah Agung dan Menteri Agama.

Pelaksanaan proyekini ditempuh melalui:
1). Wawancara dengan ulama terkemuka,
2). Komplasi keputusankeputusan yang diambil pengadilan agama seluruh indonesia,
3). Seleksi argumen yuridis yang digunakan agama,
4) Pengumpulan argumen yang dikemukakan ulama-ulama mazhab dan berbagai kitab fikih,
5). Rancangan aturan hukum islam yang menyangkut 3 bidang yang disepakati di atas, yaitu perkawina, waris, dan wakaf,
6). Study perbandingan dengan negara-negara yang menerapkan hukum islam termasuk study temtang sistem peradilan dan keputusan pengadilannya,
7). Study tentang kedudukan dan cakupan prinsip-prinsip yang terkandung dalam kitab fikih, kemuingkinan diperbolehkan, suatu penyimpangan serta dasar-dasar penyimpangan,
8). Perumusan kesimpulan sementara/ hipotesis oleh tim pusat, dan
9). Perumusan kesimpulan yang dihasilkan oleh seminar yang melibatakan ulama dan ahli hukum umum.
Tujuan diadakannya seminar-seminar itu adalah untuk mencapai konsensus yang kemudian menjadi kesimpulan akhir,

yaitu;
1). Hakim pengadilan agama memliki buku pegangan hukum yang harus diterapkan, dan
2). Terbukanya peluang bagi kebijaksanaan nasional untuk kodifikasi.

Upaya-upaya yang dilakukan oleh Departemen Agama dan Mahkamah agung ini mendapatkan sambutan dan dorongan dari ulam islam, di antara pernyataan pentingnya buku hukum islam yang dijadikan pedoman oleh para hakim di peradilan agama oleh muktamar nahdatul Ulama di Situbondo – Jawa Timur pada tanggal 4 Desember 1984, disampinmg itu, di tingkat propinsi para hakim pengadilanagama diberi tugas untuk melakukan wawancara dengan ulama setempat mengenai tanggapan mereka tentang ide penyatuan Hukum Islam yang akan diterapkan di lingkungan peradilan agama. Tanggapan-tanggapan ini kemudian disistimisasikan dalam 3 kitab seperti tersebut di atas.

Penelitian kitab-kitab fiqih dilakukan oleh 10 IAIN di Indonesia antara lain adalah:
1. IAIN Ar-Raniri Banda Aceh 6 kitab,
2. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 6 kitab,
3. IAIN Antasari Banjarmasin 6 kitab,
4. IAIN Sunan Kalijaga Jogyakarta 5 kitab,
5. IAIN Sunan Ampel Surabaya 5 kitab,
6. IAIN Alauddin Makassar 5 kitab,
7. IAIN Imam Bonjol Padang 5 kitab.
Hasil penelitian ini diolah oleh bidang kitab dan yurisprudensi pusat. Kitab-kitab fiqih yang dipelajari tersebut terdiri atas 36 kitab fiqih yang diambil dari berbagai mzhab fiqih.

Buku-buku dimaksud adalah:
1. Al-Hidayah Syarah Bidayah,
2. Bada’I as-Sana’I,
3. Tabyin al-Haqa’iq,
4. Al-Fatawa al-Hindiyah,
5. Fath al-Qadir,
6. Hasyiyah ibn Abidin dan
7. An-Nihayah; ketujuh kitab fiqih ini adalah kitab sumber dalam Mazhab Hanafi;
8. AL-Mudawwwanah al-Kubra,
9. Hasyiyah as-Syarqawi ‘ala at-Tahrir,
10. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid,
11. Al-Muwatta, dan
12. Hasyiyah ad-Dasuqi, kelima kitab ini merupakan kitab fiqih sumber dalam Mazhab Maliki,
13. Al-Bajuri,
14. Fath al-Wahhab,
15. Mugni al-Muhtaj,
16. Nihayah al-Muhtaj,
17. I’anah at-Thalibin,
18. Tuhfah,
19. Targib al-Musytaq,
20. Bugyah as-salik,
21. Syamsuri fi al-fara’id,
22. Qalyubi wa ‘Umairah,
23. Fath al-Wahhab wa Ayarhuh,
24. Al-umm,
25. Bugyah al-Mustarsyidin,
26. Qawanin li as-Sayyid,
27, Nawab al-jalil, dan
28. Al-Wajiz; ketujuh belas kitab fikih ini merupakan kitab fikih sumber dalam mazhab Ayafi’I;
29. Kasyf al-Qina’,
30. Majmu’ Fatawa ibn Taimiyah,
31. Al-Mugni, dan
32. Qawanin asy-syari’ah li as-sayyid ‘Usman ibn Yahya; keempatnya kitab fikih ini Mazhab Hanbali;
33. Al-Muhalla, ini kitab fikih Mazhab Az-Zahiri; 34. Al-fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah,
35. Aqidah wa asy-Syariah, dan 36. Fiqh as-sunnah; keempat kitab fikih ini merupakan kitab fikih perbandingan.

Dari gambaran buku-buku yang dipergunakan sebagai rujukan ini terlihat bahwa kompilasi Hukum Islam di Indonesia lebih maju selangkah ,karena tidak hanya terfokus pada kitab fiqih mazhab Syafi’I sebagaimana yang berlaku selama inii, bahkan juga meneliti berbagai pendapat dalam mazhab Hanafi, Maliki, Hanbali, dan Az-zahiri yang dikenal tidak menerima ra’yu dalam berijtihad.

Selanjutnya dalam rangka pengumpulan bahan dan studi perbadingan telah pula dilakukan
wawancara dengan ulama di Banda Aceh, Medan, Padang, Palembang, Bandung, Surakarta, Surabaya, Banjarmasin, Ujungpandang, dan Mataram.
Adapun Yuriprudensi yang diteliti adalah:
1) Himpunan putusan pengadilan agama/pengadilan tinggi agama, 4 buku,
2) Himpunan Fatwa, 3 buku,
3) Yurisprudensi Pengadilan Agama, 5 buku dan
4) Law Record (catatan hukum), 4 buku.


Disamping itu, dilakukan juga studi perbandingan ke berbagai negara Timur Tengah, masing-masing di Marokko pada tanggal 28-29 Oktober 1986, Turki pada tanggal 1-2 Nopember 1986 dan Mesir pada tanggal 3-4 Nopember 1986. hasil dari seluruh bidang dibahas dan dirumuskan oleh Tim Kecil yang merupakan tim inti yang diketuai oleh Prof. DR. H. Bustanul Arifin, SH. Pada tanggal 29 Desember 1987 tim kecil ini berhasil merumuskan tiga rancangan Kompilasi Hukum Islam,
yaitu :
1. Hukum Perkawinan,
2. Hukum Kewarisan dan
3. Hukum Perwakafan. Rancangan kompilasi Hukum Islam ini diserahkan kepada Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI.

Selanjutnya rancangan kompilasi dilokakaryakan pada tanggal 2-6 Pebruari 1968 berdasarkan Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI. Tujuan lokakarya ini untuk mendengarkan komentar dan tanggapan akhir dari ulama dan cendekiawan muslim tentang isi rancangan tersebut. Dalam proses selanjutnya rancangan kompilasi Hukum Islam ini dibahas dalam dua sidang, yaitu sidang komisi dan sidang pleno. Sidang Komisi dibagi-bagi kepada: 1. Komisi Hukum Perkawinan dengan anggota 41 orang, 2. Komisi Hukum Kewarisan dengan anggota 42 orang dan 3. Komisi Hukum Perwakafan dengan anggota 29 orang.

Hasil rumusan lokakarya ini, yang terdiri atas tiga buku, yaitu: Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan dan Buku III tentang Perwakafan, diserahkan kepada Presiden RI oleh Menteri Agama RI melalui surat tertanggal 14 Maret 1988, No. MA/123/1988. setelah itu keluarlah Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991 tentang pemberlakuan dan penyebarluasan kompilasi Hukum Islam, yang kemudian diikuti oleh Keputusan Menteri Agama RI No 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juni 1991 tentang pelaksanaan Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 yang isinya agar seluruh jajaran Departemen

Agama RI menyebarluaskan dan menerapkan kompilasi Hukum Islam tersebut, disamping peraturan perundang-undangan lainnya dan menugaskan Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Islam dan Direktus Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji untuk mengkoordinasikan pelaksanaan keputusan Menteri Agama RI ini sesuai dengan bidang tugas masing-masing. Dengan demikian, kompilasi Hukum Islam telah mendapat kekuatan dan kepastian hukum dalam wilayah Republik Indonesia dan diterapkan di lingkungan Pengadulan Agama dan instansi terkait lainnya.

Materi Hukum Islam

Kompilasi Hukum Islam ini yang telah mendapatkan kekuatan dari Presiden Republik Indonesia tersebut terdiri atas tiga buku, 29 bab dan 229 pasal; yaitu Buku I tentang Hukum Perkawinan memuat 18 bab, 170 pasal; Buku II tentang Hukum Kewarisan memuat 6 bab, 44 pasal; Buku III tentang Perwakafan mmemuat 5 bab, 15 pasal.

Hukum perkawinan mengatur tentang ketentuan ketentuan umum (Pasal 1), dasar-dasar perkawinan (Pasal 2-10), peminangan (Pasal 11-13), rukun dan syarat perkawinan (Pasal 14-29), mahar (Pasal 30-38), larangan kawin (Pasal 39-44), perjanjian kawin (Pasal 45-52), kawin hamil (Pasal 53-54), nberisteri lebih dari satu (Pasal 55-59), pencegahan perkawinan (Pasal 60-69), batalnya perkawinan (Pasal 70-76),, hak dan kewajiban suami isteri (Pasal 77-84), harta kekayaan dalam perkawinan (Pasal 85-97), pemeliharaan anak (Pasal 98-106), perwalian (Pasal 107-112), putusnya perkawinan (Pasal 113-148), akibat putusnya perkawinan (Pasal 149-162), rujuk (Pasal 163-169) dan terakhir masa berkabung (Pasal 170).

Hukum kewarisan menmgatur tentang ketentuan umum (Pasal 171), ahli waris (Pasal 172-175), besarnya bagian masing-masing ahli waris (Pasal 176-191), Al-‘Aul atau cara penyelesaian harta warisan yang jumlahnya kurang untuk dibagi kepada seluruh ahl;i waris yang berhak, jika warisan yang dibagi kurang atau lebih (Pasal 192-193), wasiat (Pasal 194-209) dan hibah (Pasal 210-214).

Hukum Perwakafan mengatur tentang ketentuan umum (Pasal 215), fungsi, unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf (Pasal 216-222), perubahan, penyelesaian dan pengawasan benda wakaf (Pasal 225-227), ketentuan peralihan dan ketentuan penutup (Pasal 228-229).

Dengan berlakunya kompilasi Hukum Islam utnuk pedoman bagi para hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara, maka kesatuan dan kepastian Hukum Islam untuk persoalan-persoalan mu’amalah bagi umat Islam Indonesia telah berhasil diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri.

Menyikapi dan Mengkritisi Materi Kompilasi Hukum Islam

Setelah melalui penelaahan, maka didapat hal-hal yang harus dikoreksi atau dikritisi tentang isi atau materi kompilasi HukumIslam adalah sebagai berikut:
1. Lamanya pembahasan hingga pengesahan kompilasi Hukum Islam, terhitung sejak digagas oleh Menteri Agama RI Munawir Sadzali pada bulan Pebruari 1985 dan terealisasi pada tanggal 10 Juni 1991 dengan Isntruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tertanggal 10 Juni 1991.

2. Ada pasal-pasal yang tidak sesuai atau bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, seperti pada Pasal 56 ayat (1) mengatakan: “Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama, ayat (2): “Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan ayat *3(: “Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin Pengadilan Agama tidak mempunyai kekuatan hukum. Kemudian pada Pasal 57 dikatakan bahwa Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri; b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal-pasal yang disebutkan bertentangan dengan Pasal 29 ayat (1) Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa dan ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Bahkan dalam Pembukaan UUD 1945 mengatakan: ”Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”.
Izin tersebut sudah mengekang kebebasan seseorang untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya.
Pernikahan Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah

Pernikahan adalah sesuatu yang diperintahkan oleh Allah dan juga rosulullah. Pernikahan adalah pertalian jiwa antara pria dan wanita yang sudah baligh atau dewasa dengan suatu ikatan perjanjian yang dilakukan dihadapan wali nikah atau penghulu, disertai pula dengan saksi dan pemberian mahar dari seorang pria kepada seorang wanita.

Dalam suatu hadits ada disebutkan tentang pernikahan, yakni yang diterangkan dalam Kitab ”Tarjamah Mukhtarul Ahadits” terbitan PT. Al-Ma’arif, Bandung, oleh Hj. Hadiyah Salim, yang mengatakan bahwa: ”Lahirkanlah olehmu pernikahan dan rahasiakanlah meminangnya”, keterangannya: jika bernikah (kawin) maka lahirkanlah, undanglah orang ke perkawinan, supaya orang mengetahui bahwa orang itu sudah menjadi sepasang suami isteri dan jika tidak begitu, niscaya akan terhadilah fitnah. Tetapi dalam melamar tidak usah diadakan pesta, karena mereka belum tentu akan jadi kawin (suami isteri), masih menjadi calon yang kadang-kadang terlaksana dan kadang-kadang gagal.

Selanjutnya masih dalam Kitab Mukhtarul Ahadits dikatakan: ”Lahirkanlah olehmu pesta nikah dan jadikanlah dalam mesjid dan pukullah atasnya genderang”, keterangannya: jika mengadakan pernikahan janganlah disembunyi-sembunyikan, tapi adakanlah pestanya dan bunyikanlah genderang, supaya orang tahu, dan sebaik-baik pernikahan itu di mesjid, walaupun pestanya diadakan di rumah masing-masing.

Dalam Islam juga ada aturan yang mengatakan bahwa seorang laki-laki tidak boleh menikah dengan wanita-wanita musyrik, meskipun itu menarik hatinya; begitu juga bagi wanita-wanita mu’min, keluarganya tidak diperkenankan menikahkan mereka dengan orang-orang (laki-laki) musyrik.


” Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mu’min sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinnya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatnya (perintah-perintahnya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (Surat : Al-Baqarah- 221)

Jika Al-Qur’an sudah mengatur demikian, maka hukumnya adalah HARAM,
Hukum Islam yang tertera dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah wajib ditaati oleh umat Islam. Hal ini seperti yang diatur dalam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni, tidak mengatur seperti yang dikutib dalam Al-Qur’an, sehingga dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, karena ketidaktahuan akan hukum yang tertera dalam Al-Qur’an. Penyimpangan akan dilakukan oleh umat Islam, jika hanya berpatokan pada aturan yang sudah ada.

Harta Waris Mernurut Al-Qur’an dan As-Sunnah
Dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah (Hidangan) diperintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk berwasiat kepada keluarganya sebelum meninggal dunia, menyangkut harta warisan.


Selanjutnya dalam Surat An-Nisa dikatakan :

Mengapa Harus Memiliki Hukum Sendiri
Sebagai bangsa Indonesia yang ditakdirkan memeluk agama Islam, sesungguhnya tak dapat mengelak dari ketentuan Hukum Islam, karena konsekuensi diri memeluk agama Islam adalah menjalankan syariat-syariatnya/ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Al-Qur’an dan Al-hadits.

Maka adalah sebuah kewajiban dan keharusan mengikuti apa-apa yang diperintahkan dalam Al-Qur’an dan Ahadits serta apa-apa yang dilarangnya, juga dalam Al-Qu8r’an dan Ahadits. Seseorang yang mengaku Muslim harus memilki keyakinan terhadap agamanya.

Keyakinan itu penting, karena tanpa keyakinan keimanannya dapat diragukan. Keraguan dalam beragama seperti yang disindir dalam friman Allah Subhanallahu wa ta’ala dalam Surat Al-Baqarah ayat (1) sampai dengan ayat (5):”Alif Laam Mim; Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa; yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan sholat dan menafkahkan rizki yang Kami anugerahi kepada mereka;

dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelumnya, seryta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat; mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka dan merekalah orang-orang yang beruntung”.
Firman Allah tertsebut adalah:


DAFTAR PUSTAKA
Rodliyah Nunung, Dra., Pokok-Pokok Hukum Islam Di Indonesia Dan Kompilasi Hukum Islam, Universitas Lampung, An-Nur Press Penerbit-cetakan pertama 2008, Bandar Lampung.
Surat Al-Baqarah : 1-5, Surat Al-Baqarah : 21-25, Surat Al-Maidah : 106, An-Nisa : 7-11, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, hadiah dari Khadirin AL-Haramain Asy-Syarifain, Saudi Arab.
Mukhtarul Ahadits-Rawi Dailami dari Umi Salamah dan Tirmidzi dari ’Aisyah
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 komentar

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

Kenangan Tak Terlupakan

Hari menjelang pagi ketika bus yang kutumpangi telah sampai di kota Palembang. Aku merasa lelah dan masih terasa kantuk, karena sehari semalam di perjalanan sejak berangkat dari kota Depok untuk menuju kota yang selama ini hanya sebatas angan dan tak pernah kubayangkan akan kusinggahi. Betapa perjalanan yang kutempuh harus melalui sebuah perjuangan yang tak kenal lelah, ketika sebelumnya masih segar dalam ingatan bagaimana aku memohon kebijakasanaan kepada dua orang temanku yang baru saja menikmati jabatan struktural di kantor yang sama denganku. Perjuangan yang panjang memang telah menghasilkan sesuatu yang selama ini aku idam-idamkan, yakni keinginanku untuk menjadi seorang auditor sesuai dengan pendidikan yang telah aku terima beberapa tahun sebelumnya. Dikarenakan kawan-kawanku telah terlebih dahulu menikmati jabatan fungsional yang banyak diinginkan oleh semua orang di kantorku. Termasuk aku sendiri pun menginginkannya. Namun karena kebijakan waktu itu tidak kondusif, maka aku pun tak dapat memperjuangkannya. Panjangnya Birokrasi dan sistem politik yang membelenggu kebebasan berdemokrasi (berbeda pendapat) tidak memungkinkan setiap orang untuk berani mengajukan usulan apalagi tuntutan.

Namun semua itu telah berlalu. Hari kebebasan pun bisa aku nikmati saat ini. Aku berani mengajukan usulan dan tuntutan, meski hasil yang kan didapat tak bisa ditebak. Semua berpulang pada kebijaksanaan kedua kawanku tersebut. Alhasil setelah kutunggu-tunggu usulan dan tuntutan itu membuahkan kemenangan di pihakku. Dari hasil perjuanganku itu masih kurasakan ganjalan yang mengarah pada sentimen dari kawan-kawanku yang tak percaya bahwa usulan dan tuntutanku itupun terpenuhi. Mereka tak percaya dengan alasan bahwa usulan dan tuntutan itu harus keluar biaya dari diri sendiri. Bagi mereka mustahil, jika permintaan itu datang dariku dan dibiayai oleh dinas atau kantor, bukan dari kantongku sendiri. Tapi, apapun ocehan dan atau ucapan mereka, aku hanya menganggap ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’. Perduli amat mendengarkan ucapan mereka yang iri atau sentimen dengan usahaku. Terpenting bagiku adalah kenyataan yang kudapat memang demikian adanya. Titik.

Haripun telah menyongsong pagi dan tak lama lagi akan datang siang. Aku menjejakkan kakiku di bumi ‘Sriwijaya’, kata orang Palembang. Aku berharap, pagi yang cerah ini juga akan membawa cerah pula usahaku disini. Cita-cita telah kutanamkan pada jiwa dan batin ini, semoga aku mendapatkan kebahagiaan.

Hari pertama aku belum melakukan tugas atau kegiatan apapun di kantor yang baru. Aku hanya melapor kedatanganku kepada Kepala Perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan wilayah II Palembang. Waktu yang ada aku gunakan untuk berkenalan atau memperkenalkan diri kepada kawan-kawan baruku, meski ada juga beberapa kawan lamaku yang dulunya dari kantor di Jakarta, tetapi mereka pindah kesini telah lebih dulu dari aku. Ada kawanku yang kuanggap sukses setelah berpindah dari kantor Jakarta. Ini yang memotivasi, kalau akupun harus sukses seperti kawanku itu. Kawanku itu berinisial KD (yang beserta isteri dan anaknya pindah ke Medan sebelumnya). Ia sukses dengan memiliki rumah dan mobil sendiri (yang sebelumnya aku tahu kalau dia itu seperti apa). Aku melihat sisi positifnya dan dapat kupelajari sebagai bekal aku hidup disini. Aku tak mau hanya terpesona atau terpaku dengan keberhasilannya, bagiku langkah selanjutnya adalah menata hari-hari berikut yang akan aku lalui. Segala daya upaya akan aku lakukan untuk mencapai tujuanku.

Hari kedua aku masih seperti hari kemarin, belum melakukan kegiatan sebagimana layaknya bekerja di kantor. Aku saat itu masih memikirkan posisi aku yang belum mempunyai unit kerja, karena masih bersifat sementara, dimana keadaan kantor baru saja berbenah sehabis pindahan dari kantor yang lama di Jalan Demang Lebar Daun ke Jalan Kapten Anwar Sastro atau lebih dikenal dengan sebutan Jalan Lorong Kulit. Ya, jalan lorong kulit memang nama yang diberikan waktu itu dan orang-orang pun lebih kenal dan tahu nama jalan itu meski sudah berganti nama. Pada hari kedua aku meminta izin kepada atasanku untuk mencari tempat tinggal sementara sebelum keluargaku ikut bersamaku. Keluargaku masih tinggal di Kota Depok – Jawa Barat dikarenakan aku harus mencari tempat tinggal dan sekolah untuk mereka. Aku memiliki lima orang anak yang terdiri dari tiga orang puteri dan dua orang putera yang kesemuanya harus kuurus kebutuhannya. Aku mencari tempat penginapan/rumah sewa untuk keluargaku, yang menurut aku harus dekat dengan kantor dan juga sekolah anak-anakku. Selain itu biaya sewa yang tak terlalu mahal atau terjangkau. Karena aku belum mengerti seluk beluk Kota Palembang, ditambah lagi cerita-cerita yang kurang sedap tentang masyarakat palembang yang suka main ‘tujah’ atau tusuk. Benarkah demikian?

Dalam perjalan kisahku ini akan terjawab apa yang telah aku terima gambaran dari perilaku masyarkat Palembang yang ‘kriminal’ ternyata salah dan tak semuanya seperti itu. Di awal-awal aku singgah atau tinggal di Kota Palembang, perasaan was-was atau takut masih menempel dibenakku. Bila malam tiba, aku lebih banyak mengurung diri di dalam kamar, tapi sekali-sekali aku bercengkerama dengan teman satu kost, untuk mengusir kesendirianku di perantauan. Aku mulai memiliki teman. Aku mulai berkenalan dengan teman-reman satu kost. Satu persatu aku tahu siapa mereka. Ada yang bekerja di swasta, tapi kebanyakan adalah pegawai negeri sipil, termasuk teman sekantor yang bernama Zawernis Duko yang asal padang-Sumatera Barat dan Untoro yang asal Jawa.

O ya, aku bisa mendapatkan tempat kost-an karena jasa seseorang yang sebenarnya adalah atasanku di kantor. Beliaulah yang menunjukkan tempat kost-an tersebut kepadaku, yang ternyata sangat dekat dengan kantorku. Beliau telah meninggal dunia pada tahun 2007, setelah aku pindah di Lampung (Kota Bandar Lampung). Aku dan juga keluarga merasa ikut kehilangan atas berpulang kerahmatullahnya, karena beliau punya jasa yang tak kan pernah kami lupakan selamanya. Selama keberadaanku di kantor perwakilan di palembang, aku sangat terbantu dalam tugas-tugas pemeriksaan. Sebagai contoh, aku mendapat tugas hingga lima (5) kali dalam tahun 2005, sampai sampai banyak teman yang iri dan curiga dengan kedekatanku pada beliau itu. Sungguh aku dekat dengan bleiau karena faktor perteman/persahabatan dan juga kekeluargaan, sehingga murni tak ada maskud lain.

Hari demi hari kulalui, tak terasa tahunpun berganti. Banyak cobaan datang silih berganti. Kenyamanan dalam aku bekerja terasa semakin menurun, dikarenakan adanya tekanan, gunjingan, bahkan finahan yang datang mengahmpiriku....(bersambung)

“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: “Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?” Isa menjawab: “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib-gaib”. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan) nya yaitu: “Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu”, dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu.” (QS. Al Maaidah: 116-117).

Fauna

Fauna
Penguin yang cantik

Search

 
Posts RSSComments RSSBack to top
© 2011 Kesusasteraan Indonesia ∙ Designed by BlogThietKe | Distributed by Rocking Templates
Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0