Pages

Sebuah karya dari anak bangsa berupa bakat terpendam barangkali dapat bermanfaat bagi siapa saja yang suka.

KATA-KATA MUTIARA

Oleh : Imam Supriadi)

A. PERIHAL KEBENARAN :

1. Kebenaran bukan diukur dari banyak dan sedikitnya orang yang berpendapat melainkan diukur dari kedalaman hati yang paling dalam yakni Hati Nurani.

2. Nyatakanlah yang benar itu Benar dan yang salah itu Salah, walau pahit sekalipun.

3. Menyatakan kebenaran tidak mesti berbuah pada hari yang sama.

4. Mengusung kebenaran pastilah banyak tentangan dan tantangannya.

5. Kebenaran sejati hanya ada di akhirat kelak. Tetapi kebenaran di dunia bukanlah tidak diperjuangkan, meski banyak tentangan dan tantangannya.

6. Berbuat kebaikan belum tentu berbuah kebenaran, tetapi yakinlah jika berbuat kebenaran akan berbuah kebaikan.

B. PERIHAL CINTA :

1. Mencintai seseorang tidaklah harus mengorbankan segala-galanya, karena akan berakibat mencintai dengan secara membabibuta.

2. Cinta tidak diukur dari seberapa banyak orang yang dicintai telah memberikan harta dan bendanya, melainkan seberapa dalam ketulusan hati yang telah diperlihatkan untuk yang dicintainya.

3. Orang yang beriman mengukur cintanya berdasarkan tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadits.

4. Orang yang beriman itu cintanya semata hanya untuk Allah dan Rosulnya, bukan untuk kekasihnya atau siapapun yang bisa menjebaknya menjadi imannya berat sebelah.

5. Isteri yang sholihah adalah isteri yang bersolek karena tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Artinya, ia bersolek karena untuk kebutuhan suami tercinta, demi menjaga keutuhan cintanya kepada suami tercinta.

6. Cinta karena nafsu akan cepat pudar, tetapi Cinta karena Iman akan tetap langgeng.

7. Isteri yang setia adalah isteri yang bisa menjaga martabat suami dan dirinya.

8. Berbahagialah sepasang kekasih yang bisa selamat sampai ke pelaminan karena telah menjaga ‘harta’ yang paling berharga, karena ‘harta’ itu hanya diberikan ketika ijab qobul selesai diucapkan dihadapan Penghulu, Wali dan Para Saksi.

Jumat, 20 Januari 2012

Perlawanan Politis Kasat Mata

Oleh : Bethriq Kindy Arrazy*
Kolonialisme telah memporak-porandakan budaya Melayu dalam arti sesungguhnya, faktor ini berasal dari segi geografis, bahasa dan agama.

Sore itu, cuaca terlihat sedikit mendung dengan awan hitam yang tak terlalu pekat menggelantung di pusat kota Yogyakarta. Sebuah bangunan kantor berlantai dua, nampak kolam berukuran 2x1 meter beserta ikan-ikan kecil yang menghiasi isi kolam tersebut.
Sebuah becak sepeda terparkir di teras halaman. Didalamnya sebagian besar berasitektur khas Melayu. Ditambah berapa koleksi baju dan keris Melayu yang tersimpan rapi di lemari berdindingkan kaca. Bangunan ini diresmikan pada 4 Juli 2003. Inilah yang dinamakan Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) di Yogyakarta.

Tak berselang lama, kehadiran saya disambut baik oleh sosok pria dengan tinggi tubuh kira-kira 160 cm, dengan bulu kumis yang tertata rapi, kemeja bergaris, disertai celana kain berwarna gelap. Pria ini bernama Mahyudin Al Mudra, yang lebih akrab dipanggil Bang MAM. Dialah yang mendirikan BKPBM, delapan tahun silam.
Kendala itu Bernama Dana
BKPBM berdiri di kota Yogyakarta, yang selama ini disebut jantungnya peradaban Jawa. MAM mengatakan, keputusan memilih kota Yogyakarta sebagai pusat kegiatan dilator belakangi oleh dua factor utama. Pertama, karena Kota Yogyakarta adalah sebuah miniatur Indonesia.  Fakta membuktikan, hampir semua suku bangsa di Indonesia meneruskan pendidikan, bahkan menetap untuk berbisnis dan melakukan aktivitas lainnya  di Kota Gudeg ini.  Kedua, kegiatan BKPBM yang ia pimpin sebagian besar melakukan kajian, pengembangan, dan penelitian tentang budaya Melayu. Aktivitas kajian ini dipermudah oleh  resources yang mendukung  dengan banyaknya perguruan tinggi, pusat studi, dan akademisi yang bisa diajak melakukan kegiatan akademis. “Kalau saya di daerah terpencil, di mana susah sekali mencari pemikir-pemikir intelektual yang kuat tentang ilmu pengetahuan, maka saya tidak mungkin bisa bertahan sampai sekarang,” ujar MAM.
Menurut MAM sejak awal-awal berdiri sampai sekarang, yang menjadi kendala utamanya adalah faktor dana.  Visi misi yang ia rentas dari awal dapat berjalan sampai sekarang ini, dengan menggunakan dana pribadi yang ia miliki. Ini dilakukan sebagai bentuk kepeduliannya kepada budaya Melayu. Bentuk kepeduliannya berawal saat ia masih menjadi mahasiswa di Fakutas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), yang aktif sebagai salah seorang anggota  Dewan Mahasiswa (Dema).  Kegiatan yang dilakukan mengharuskan ia sering sekali keluar kota untuk pertemuan mahasiswa. Kesempatan ini tak disia-siakannya. Di setiap kota yang ia datangi selalu ia sempatkan untuk membeli senjata khas di daerah tersebut. MAM sewaktu masih mahasiswa tertarik ingin memiliki sebuah keris Melayu. Niat itu tidak mudah diuwujudkan, karena saat itu masih sedikitnya orang melestarikan salah satu senjata khas Melayu ini. Karena tidak berhasil memperoleh keris tersebut, akhirnya MAM mendirikan lembaga dengan kegiatan akademis di dalamnya dengan pendanaan pribadi yang dimilikinya. Kajian tentang keris tersebut, akhirnya MAM membuat senidri keris tersebut dengan sebelumnya mempelajari literatur
Pria kelahiran 4 Juli 1958 di Tembilahan, Provinsi Riau ini bercerita tentang keheranan tamunya yang berasal dari Malaysia, yang menurut mereka BKPBM ini berdiri atas bantuan kerajaan (pemerintah-red). Dengan tertawa, MAM menjawab pertanyaan tamunya, bahwa selama mendirikan BKPBM sama sekali tidak ada bantuan dari pemerintah dalam segi pendanaan operasional. Dalam perjalanan sejarah BKPBM, ujar MAM bernostalgia, BKPBM pernah dikunjungi beberapa pejabat pemerintahan, mulai dari bupati, gubernur, hingga sampai menteri yang sempat memuji-muji dan berjanji untuk mendanai kegiatannya. Tapi hingga detik ini, belum pernah di antara tamu-tamu tersebut datang untuk menepati janji. “Pemerintah kita untuk kegiatan seperti pendidikan apalagi budaya tidak mendapatkan ruang seperti ini mana ada yang mau, akademisi saja tidak banyak, hanya sedikit yang tertarik,” kenangnya.
Seakan letih menunggu harapan yang tak pasti kejelasannya, MAM tidak berdiam diri menunggu untuk mengemis pada pemerintah. MAM pernah mengirimkan proposal ke UNESCO, sampai melakukan usaha sampingan sebagai penerbit buku. Sembari menghisap rokok yang dengan setia terjepit di dua jari tangannya, MAM menjelaskan bahwa ia harus mengadakan usaha untuk income tetap buat lembaganya. Di sisi lain, MAM menegaskan bahwa usaha yang ia lakukan, jangan sampai meninggalkan kegiatan di BKPBM yang murni untuk sebuah pengabdian, “Lha kalau sekarang ingin menjadikannya bisnis ya keluar dari khitah. Itu hanya sekadar untuk menghidupi kegiatan operasional itu sendiri,” tegas MAM.

Upaya Redefinisi Melayu

“Sebenarnya ada yang salah dalam definisi Melayu itu sendiri,” sebuah pernyataan yang ia lemparkan ke saya.
“Apa yang melatarbelakangi Bang MAM berkata seperti itu?” tanyaku terheran.
Selama ini Melayu secara umum didefinisikan sebatas orang-orang yang pernah tinggal di Semenanjung Melayu, berbahasa, beradat istiadat Melayu, serta beragama Islam. Definisi ini ternyata tidak disepakati oleh pria bergelar Datuk Cendekia Hikmatullah ini. Menurutnya, definisi tersebut adalah definisi yang ahistoris. Yang diterima begitu saja tanpa ada riset 50 tahun yang lalu.
Pada tahun 2001, MAM mulai mengalami kegelisahan soal definisi Melayu yang menurutnya sudah tidak memadai, yang menafikan sosiologi Melayu. Pertama soal letak geografis di Semenanjung Melayu. Kondisi masyarakat Melayu saat ini yang menetap tidak hanya berlokasikan di Semenanjung Melayu saja. tapi tak sedikitsaat ini sudah menyebar ke berbagai penjuru dunia. Contohnya Myanmar, Srilanka, Thailand Selatan, Vietnam Selatan bahkan sampai ke Madagaskar di Benua Afrika dengan jumlah penduduk mencapai 300 juta jiwa, yang masih eksis hidup di sana. Kehidupan sosial masyarakat Melayu di Madagaskar hampir sama dengan kehidupan masyarakat Jawa di negara Suriname yang sama masih eksis hingga sekarang.
Sembari menjelaskan faktor yang kedua, MAM kembali menyulut yang sebelumnya rokok yang sudah padam sekitar sepuluh menit yang lalu. MAM menjelaskan faktor kedua adalah ada pada faktor bahasa. Ini dikarenakan oleh banyak versi bahasa yang terimplementasi dalam kehidupan masyarakat Melayu. MAM menganalogikan di Indonesia, bahwa bahasa Melayu masyarakat Riau daratan dengan Riau kepulauan ada perbedaan. Bagaimana dengan Malaysia? Di daerah Johor dan Kelantan juga ada perbedaan bahasa yang masih ada sampai sekarang. MAM  menyimpulkan bahasa yang terimplementasi saat ini adalah bahasa lokal yang tidak bisa dipukul rata kalau itu semua adalah bahasa Melayu.
Faktor yang ketiga adalah faktor agama. Faktor terakhir ini menurut MAM, “Agama dan budaya seharusnya tidak di campur-adukkan,” kata MAM dengan nada suara yang agak tinggi. Ini yang menjadi permasalahan yang dilematis, dengan mengakarnya agama Islam dalam kehidupan masyarakat Melayu pada umunya. MAM juga menambahkan, ketika masyarakat hidup bersosial di lingkungannya, akan menghasilkan sesuatu yang bernama budaya. Bila masyarakat yang beragama, berarti itu urusannya personal dengan Tuhan. Faktor ini yang melatarbelakangi, yaitu dengan mencampurkan dimensi vertikal (agama-red), dengan dimensi horizontal (budaya-red).
Dalam buku MAM yang berjudul Redefinisi Melayu, perjalanan sejarahnya Melayu lahir  dan tumbuh dengan empat fase kepercayaan. Pertama adalah fase praHindu-Budha yang sudah ada sejak 3.000 tahun Sebelum Masehi yang biasa disebut dengan “Proto Melayu” dengan meninggalkan benda-benda bersejarah. Kemudian 300 SM menyusul pendatang Melayu lainnya, yaitu “Deutro Melayu” yang lebih maju karena bisa mengembangkan peralatan perunggu dan besi, dengan tetap mempraktekkan kepercayaan pada  fase Hindu-Budha pada abad ke-3 yang meninggalkan patung dan candi sebagai peninggalan sejarah. Fase ketiga adalah Islam yang masuk pada abad ke-11 dan berkembang pada abad ke-13, dengan banyak perdebatan darimana Islam berada, banyak versi mengatakan dari Cina, Gujarat, India, dan Persia. Fase terakhir adalah fase kolonial dengan masuknya agama import yaitu Nasrani.

Perlawanan Politis Kasat Mata

Definisi Melayu yang sudah tidak sesuai ini dipengaruhi oleh teori eurocentrism yang setelah diusut ternyata teori ini lahir pada zaman kolonial di negara-negara kawasan Melayu, dengan maksud memecah belah negara kolonial.  Eurocentrism  adalah sebuah teori dengan sudut pandang eropa yang melihat sesuatu diluar Eropa.  Menurut MAM pandangan eurocentrism ada dua jenis yaitu hirarkis dan dikotomis. Pada zaman kolonialisme, para penjajah menyombongkan dirinya dengan menganggap mereka yang paling pintar dan bermartabat. Selain itu juga menyebutkan bahwa orang yang beragama Nasrani adalah golongan penjajah. Di luar itu, dianggap beragama Islam untuk orang-orang Melayu saat itu. “Pandangan ini celakanya diikuti sampai sekarang oleh sarjana-sarjana Melayu sendiri dalam mendefinisikan dirinya,” ujarnya.
Secara tak langsung, teori ini memecah belah Melayu dan berlanjut sampai sekarang pandangan ini tanpa disadari melatari terjadinya perseteruan antara Indonesia dan Malaysia. Permasalahan utama adalah masalah perbatasan yang sampai sekarang masih menjadi bahan perdebatan teritorial. Banyak yang beranggapan, Malaysialah yang merebut dan sebaliknya juga. Pernyataan saling menuduh ini juga tidak diimbangi dengan peran pemerintah yang tegas dalam bersikap. Menurut MAM, saat ini masyarakat Indonesia di perbatasan yang menjadi korban. Terbukti, mereka yang masih kesulitan akses untuk membeli bahan pokok sehari-hari. Tak ayal mereka terpaksa membelinya di wilayah Malaysia. Membeli di dalam negeri pun susahnya minta ampun dengan waktu perjalanan tujuh hingga delapan jam menuju kecamatan atau desa terdekat yang diperparah kondisi jalan yang tidak memadai.
Menurut MAM, sebenarnya tidak ada subtansi yang jelas dari permasalahan antara Indonesia dan Malaysia. Ini menandakan benih-benih teori eurocentrism masih hidup sampai sekarang. Pemerintah dinilainya tak tegas dan hanya setengah-setengah menangani berbagai masalah saat ini. Di umurnya yang sudah memasuki lebih dari setengah abad ini, pengabdian pada kebudayaan Melayu tak pernah berhenti demi mengenalkan Melayu dengan arti yang sebenarnya. “Saya akan mengabdikan hidup saya untuk Melayu, sampai saya tak punya harta benda, tidak punya tenaga lagi, bahkan sampai akhir hayat saya,” tegas MAM.
*) Pemimpin Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa HIMMAH UII
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 komentar

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

Kenangan Tak Terlupakan

Hari menjelang pagi ketika bus yang kutumpangi telah sampai di kota Palembang. Aku merasa lelah dan masih terasa kantuk, karena sehari semalam di perjalanan sejak berangkat dari kota Depok untuk menuju kota yang selama ini hanya sebatas angan dan tak pernah kubayangkan akan kusinggahi. Betapa perjalanan yang kutempuh harus melalui sebuah perjuangan yang tak kenal lelah, ketika sebelumnya masih segar dalam ingatan bagaimana aku memohon kebijakasanaan kepada dua orang temanku yang baru saja menikmati jabatan struktural di kantor yang sama denganku. Perjuangan yang panjang memang telah menghasilkan sesuatu yang selama ini aku idam-idamkan, yakni keinginanku untuk menjadi seorang auditor sesuai dengan pendidikan yang telah aku terima beberapa tahun sebelumnya. Dikarenakan kawan-kawanku telah terlebih dahulu menikmati jabatan fungsional yang banyak diinginkan oleh semua orang di kantorku. Termasuk aku sendiri pun menginginkannya. Namun karena kebijakan waktu itu tidak kondusif, maka aku pun tak dapat memperjuangkannya. Panjangnya Birokrasi dan sistem politik yang membelenggu kebebasan berdemokrasi (berbeda pendapat) tidak memungkinkan setiap orang untuk berani mengajukan usulan apalagi tuntutan.

Namun semua itu telah berlalu. Hari kebebasan pun bisa aku nikmati saat ini. Aku berani mengajukan usulan dan tuntutan, meski hasil yang kan didapat tak bisa ditebak. Semua berpulang pada kebijaksanaan kedua kawanku tersebut. Alhasil setelah kutunggu-tunggu usulan dan tuntutan itu membuahkan kemenangan di pihakku. Dari hasil perjuanganku itu masih kurasakan ganjalan yang mengarah pada sentimen dari kawan-kawanku yang tak percaya bahwa usulan dan tuntutanku itupun terpenuhi. Mereka tak percaya dengan alasan bahwa usulan dan tuntutan itu harus keluar biaya dari diri sendiri. Bagi mereka mustahil, jika permintaan itu datang dariku dan dibiayai oleh dinas atau kantor, bukan dari kantongku sendiri. Tapi, apapun ocehan dan atau ucapan mereka, aku hanya menganggap ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’. Perduli amat mendengarkan ucapan mereka yang iri atau sentimen dengan usahaku. Terpenting bagiku adalah kenyataan yang kudapat memang demikian adanya. Titik.

Haripun telah menyongsong pagi dan tak lama lagi akan datang siang. Aku menjejakkan kakiku di bumi ‘Sriwijaya’, kata orang Palembang. Aku berharap, pagi yang cerah ini juga akan membawa cerah pula usahaku disini. Cita-cita telah kutanamkan pada jiwa dan batin ini, semoga aku mendapatkan kebahagiaan.

Hari pertama aku belum melakukan tugas atau kegiatan apapun di kantor yang baru. Aku hanya melapor kedatanganku kepada Kepala Perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan wilayah II Palembang. Waktu yang ada aku gunakan untuk berkenalan atau memperkenalkan diri kepada kawan-kawan baruku, meski ada juga beberapa kawan lamaku yang dulunya dari kantor di Jakarta, tetapi mereka pindah kesini telah lebih dulu dari aku. Ada kawanku yang kuanggap sukses setelah berpindah dari kantor Jakarta. Ini yang memotivasi, kalau akupun harus sukses seperti kawanku itu. Kawanku itu berinisial KD (yang beserta isteri dan anaknya pindah ke Medan sebelumnya). Ia sukses dengan memiliki rumah dan mobil sendiri (yang sebelumnya aku tahu kalau dia itu seperti apa). Aku melihat sisi positifnya dan dapat kupelajari sebagai bekal aku hidup disini. Aku tak mau hanya terpesona atau terpaku dengan keberhasilannya, bagiku langkah selanjutnya adalah menata hari-hari berikut yang akan aku lalui. Segala daya upaya akan aku lakukan untuk mencapai tujuanku.

Hari kedua aku masih seperti hari kemarin, belum melakukan kegiatan sebagimana layaknya bekerja di kantor. Aku saat itu masih memikirkan posisi aku yang belum mempunyai unit kerja, karena masih bersifat sementara, dimana keadaan kantor baru saja berbenah sehabis pindahan dari kantor yang lama di Jalan Demang Lebar Daun ke Jalan Kapten Anwar Sastro atau lebih dikenal dengan sebutan Jalan Lorong Kulit. Ya, jalan lorong kulit memang nama yang diberikan waktu itu dan orang-orang pun lebih kenal dan tahu nama jalan itu meski sudah berganti nama. Pada hari kedua aku meminta izin kepada atasanku untuk mencari tempat tinggal sementara sebelum keluargaku ikut bersamaku. Keluargaku masih tinggal di Kota Depok – Jawa Barat dikarenakan aku harus mencari tempat tinggal dan sekolah untuk mereka. Aku memiliki lima orang anak yang terdiri dari tiga orang puteri dan dua orang putera yang kesemuanya harus kuurus kebutuhannya. Aku mencari tempat penginapan/rumah sewa untuk keluargaku, yang menurut aku harus dekat dengan kantor dan juga sekolah anak-anakku. Selain itu biaya sewa yang tak terlalu mahal atau terjangkau. Karena aku belum mengerti seluk beluk Kota Palembang, ditambah lagi cerita-cerita yang kurang sedap tentang masyarakat palembang yang suka main ‘tujah’ atau tusuk. Benarkah demikian?

Dalam perjalan kisahku ini akan terjawab apa yang telah aku terima gambaran dari perilaku masyarkat Palembang yang ‘kriminal’ ternyata salah dan tak semuanya seperti itu. Di awal-awal aku singgah atau tinggal di Kota Palembang, perasaan was-was atau takut masih menempel dibenakku. Bila malam tiba, aku lebih banyak mengurung diri di dalam kamar, tapi sekali-sekali aku bercengkerama dengan teman satu kost, untuk mengusir kesendirianku di perantauan. Aku mulai memiliki teman. Aku mulai berkenalan dengan teman-reman satu kost. Satu persatu aku tahu siapa mereka. Ada yang bekerja di swasta, tapi kebanyakan adalah pegawai negeri sipil, termasuk teman sekantor yang bernama Zawernis Duko yang asal padang-Sumatera Barat dan Untoro yang asal Jawa.

O ya, aku bisa mendapatkan tempat kost-an karena jasa seseorang yang sebenarnya adalah atasanku di kantor. Beliaulah yang menunjukkan tempat kost-an tersebut kepadaku, yang ternyata sangat dekat dengan kantorku. Beliau telah meninggal dunia pada tahun 2007, setelah aku pindah di Lampung (Kota Bandar Lampung). Aku dan juga keluarga merasa ikut kehilangan atas berpulang kerahmatullahnya, karena beliau punya jasa yang tak kan pernah kami lupakan selamanya. Selama keberadaanku di kantor perwakilan di palembang, aku sangat terbantu dalam tugas-tugas pemeriksaan. Sebagai contoh, aku mendapat tugas hingga lima (5) kali dalam tahun 2005, sampai sampai banyak teman yang iri dan curiga dengan kedekatanku pada beliau itu. Sungguh aku dekat dengan bleiau karena faktor perteman/persahabatan dan juga kekeluargaan, sehingga murni tak ada maskud lain.

Hari demi hari kulalui, tak terasa tahunpun berganti. Banyak cobaan datang silih berganti. Kenyamanan dalam aku bekerja terasa semakin menurun, dikarenakan adanya tekanan, gunjingan, bahkan finahan yang datang mengahmpiriku....(bersambung)

“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: “Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?” Isa menjawab: “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib-gaib”. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan) nya yaitu: “Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu”, dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu.” (QS. Al Maaidah: 116-117).

Fauna

Fauna
Penguin yang cantik

Search

 
Posts RSSComments RSSBack to top
© 2011 Kesusasteraan Indonesia ∙ Designed by BlogThietKe | Distributed by Rocking Templates
Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0