Pages

Sebuah karya dari anak bangsa berupa bakat terpendam barangkali dapat bermanfaat bagi siapa saja yang suka.

KATA-KATA MUTIARA

Oleh : Imam Supriadi)

A. PERIHAL KEBENARAN :

1. Kebenaran bukan diukur dari banyak dan sedikitnya orang yang berpendapat melainkan diukur dari kedalaman hati yang paling dalam yakni Hati Nurani.

2. Nyatakanlah yang benar itu Benar dan yang salah itu Salah, walau pahit sekalipun.

3. Menyatakan kebenaran tidak mesti berbuah pada hari yang sama.

4. Mengusung kebenaran pastilah banyak tentangan dan tantangannya.

5. Kebenaran sejati hanya ada di akhirat kelak. Tetapi kebenaran di dunia bukanlah tidak diperjuangkan, meski banyak tentangan dan tantangannya.

6. Berbuat kebaikan belum tentu berbuah kebenaran, tetapi yakinlah jika berbuat kebenaran akan berbuah kebaikan.

B. PERIHAL CINTA :

1. Mencintai seseorang tidaklah harus mengorbankan segala-galanya, karena akan berakibat mencintai dengan secara membabibuta.

2. Cinta tidak diukur dari seberapa banyak orang yang dicintai telah memberikan harta dan bendanya, melainkan seberapa dalam ketulusan hati yang telah diperlihatkan untuk yang dicintainya.

3. Orang yang beriman mengukur cintanya berdasarkan tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadits.

4. Orang yang beriman itu cintanya semata hanya untuk Allah dan Rosulnya, bukan untuk kekasihnya atau siapapun yang bisa menjebaknya menjadi imannya berat sebelah.

5. Isteri yang sholihah adalah isteri yang bersolek karena tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Artinya, ia bersolek karena untuk kebutuhan suami tercinta, demi menjaga keutuhan cintanya kepada suami tercinta.

6. Cinta karena nafsu akan cepat pudar, tetapi Cinta karena Iman akan tetap langgeng.

7. Isteri yang setia adalah isteri yang bisa menjaga martabat suami dan dirinya.

8. Berbahagialah sepasang kekasih yang bisa selamat sampai ke pelaminan karena telah menjaga ‘harta’ yang paling berharga, karena ‘harta’ itu hanya diberikan ketika ijab qobul selesai diucapkan dihadapan Penghulu, Wali dan Para Saksi.

Jumat, 20 Januari 2012

Sastera Melayu

Sastra MelayuSegala pekerjaan pedang itu boleh dibuat dengan kalam  Adapun pekerjaan kalam itu tiada boleh dibuat dengan pedang  Dan beberapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus  Dengan segores kalam jadi tersarung(Raja Ali Haji, dalam Mukaddimah Kitab Bustan al Katibin)Kata pena akulah raja ini dunia  Siapa yang mengambil aku dengan tangannya  Akan kusampaikan kerjanya
  (Syair Persia, yang dikutip Raja Ali Haji dalam
Mukaddimah Kitab Bustan al Katibin)

KesusastraanKita membutuhkan beberapa definisi dasar dalam membicarakan Kesusastraan Melayu. Definisi adalah hal yang sangat peka dan rentan karena selalu berubah menurut konteks, zaman ketika ia digunakan, dan kepentingan serta tujuan orang yang menggunakannya. Namun, setidaknya ada definisi yang cukup kokoh sehingga dapat digunakan sebagai pijakan awal. Uraian tentang etimologi dan perkembangan istilah kesusastraan berikut ini sebagian besar disarikan dari buku penting karya Harun Mat Piah et.al. yang berjudul Traditional Malay Literature (Kuala Lumpur, 2002) dan beberapa buku lain yang berkaitan dengan tema ini.
Istilah “kesusastraan” dalam bahasa Melayu/Indonesia mengandung makna yang sama dengan istilah “literature” dalam bahasa Inggris. Etimologi, pembentukan dan perubahan referensinya juga melalui jalur yang sama. Kata “literature” dalam bahasa Inggris diturunkan dari kata “literatura” dalam bahasa Latin, yang diturunkan dari kata “litera” yang berarti huruf/abjad alfabet tunggal. Dalam bentuk aslinya, “literatura” merupakan terjemahan bagi istilah “grammatika” dalam bahasa Yunani, yang diturunkan dari “gramma”, yang artinya sebuah huruf tunggal. Istilah “literature” pertama kali diterapkan pada tata bahasa (grammar) dan puisi. Seorang “literatus” adalah orang yang tahu tentang tata bahasa dan puisi. Dalam penggunaannya secara modern di Eropa, “literature” merujuk bukan hanya pada tata bahasa dan puisi; ia juga merujuk pada semua yang tertulis, termasuk bentuk-bentuk ucapan yang tertulis. Walaupun demikian, seiring perkembangannya dalam berbagai macam bahasa di Eropa, istilah-istilah lain pun ditetapkan untuk membedakan tipe-tipe tulisan yang beragam. Misalnya, dalam bahasa Jerman, “scrifftum” merujuk pada semua bahan yang tertulis, sementara “dichtung” terbatas pada fiksi, esai, dan tulisan imajinatif, yang dianggap memiliki nilai kreatif, artistik, dan estetis. Dalam bahasa Belanda, “letterkunde” digunakan untuk menerjemahkan pengertian umum yang sama dengan “dichtung”, sementara “literature” digunakan untuk bahan-bahan yang tersimpan di dalam perpustakaan, esai atau bahkan buku-buku akademik, sebagaimana “literatuur” dalam bahasa Jerman. Hal yang sama terdapat juga dalam bahasa Perancis: istilah “belle-lettres” digunakan dengan referensi spesifik pada tulisan yang memiliki nilai estetik. Istilah ini juga dipinjam oleh bahasa Inggris, dan merujuk pada karya-karya yang memiliki nilai kreatif, imajinatif, dan estetik. Dengan kata lain, ia digunakan untuk merujuk pada karya-karya yang secara umum cenderung dipandang sebagai “sastra” yang sebenarnya.Selanjutnya, Mat Piah et.al. (2002: 2) menerangkan bahwa “Kesusastraan” dalam bahasa Melayu/Indonesia diturunkan dari kata “sastra” dalam bahasa Sansekerta. Kata dasar “sas-”adalah kata kerja, yang berarti menunjukkan, mengajarkan, membimbing atau memberikan perintah. Akhiran “-tra” secara umum merujuk pada alat atau perkakas untuk melakukan sesuatu. Jadi, “sastra” mengandung makna alat untuk memberikan instruksi, buku bimbingan, buku rujukan atau buku teks. “Silpasastra”, misalnya, merujuk pada buku tentang arsitektur. “Kavyasastra” tentang puisi (“kavi”); dan “Kamasastra” tentang seni bercinta. A. Teeuw (1984: 22-23) menegaskan bahwa kata “sastra” (atau “sastera”) menurunkan kata “susastra” (atau “susastera”). Prefiks “su-” juga merupakan kata dalam bahasa Sansekerta; yang mengandung makna baik atau indah. Dengan demikian, “susastra” memiliki makna yang sama dengan “belle-lettres” dalam bahasa Perancis dan “dichtung” dalam bahasa Jerman. Istilah ini merujuk pada karya-karya yang memiliki nilai estetik. Istilah ini ditemukan juga dalam bahasa Sansekerta maupun bahasa Jawa, yang memberikan petunjuk bahwa kata ini berasal dari periode akhir dalam perkembangan bahasa-bahasa di kepulauan Asia Tenggara, atau ”Nusantara”.Jelaslah bahwa “kesusastraan” diturunkan dari “sastra” dalam bahasa Sansekerta yang telah mendapatkan prefiks “su”. Afiks “ke-” dan “-an”, yang ditempatkan pada awal dan akhir kata tersebut, memberikan pengertian abstrak tentang keutuhan dan kesatuan. “Kesusastraan” merujuk pada teks-teks tertulis yang memiliki nilai artistik atau estetik dan dimaksudkan untuk memberikan bimbingan, arahan, dan instruksi.Dengan demikian, “kesusastraan” (“literature”) dapat diartikan menurut penggunaannya secara modern di Eropa dan digunakan untuk merujuk pada teks yang tertulis.Namun, dalam penggunaannya di Eropa, “literature” cenderung merujuk hanya pada teks tertulis dan tidak memberikan tempat bagi kesusastraan lisan, yang tentu saja menjadikan cakupan istilah ini sangat terbatas. Istilah “kesusastraan” akan lebih baik jika mencakup kesusastraan rakyat (folk literature) dan kesusastraan oral atau lisan. Namun, harus diingat pula bahwa istilah “kesusastraan lisan” sendiri terlalu sempit dan membingungkan: “lisan” berkaitan dengan bahan yang tak tertulis, sedangkan “kesusastraan” berkaitan dengan semua yang tertulis (Muhammad dalam Mat Piah et.al., 2002: 4). Muhammad Haji Saleh (2000) menelusuri perkembangan istilah kesusastraan yang dimulai dari istilah “susastra” dalam bahasa Sanskerta. Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998), Saleh menemukan bahwa kesusastraan dapat berarti:Karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki pelbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan isi dan ungkapannya; ragam sastra yang umum dikenali ialah roman, cerita pendek, drama, epik, dan lirik hasil seni dalam bentuk prosa dan puisi. (Saleh, 2000: 13-14)Namun, makna istilah kesusatraan yang dikenal pada masa modern baru mulai berkembang pada dekade 1930-an, dengan diperkenalkannya makna baru ini oleh Sutan Takdir Alisjahbana dalam ruangan “Memajukan Kesusastraan” di majalah Panji Pustaka dan kemudian diteruskan pada 1933 dalam majalah Pujangga Baru. Pujangga Baru sendiri secara terbuka membubuhkan moto yang berbunyi “Majalah Kesusasteraan dan Bahasa dan Kebudayaan Umum”. Menurut Saleh (Saleh, 2000: 14-15), makna yang hampir serupa digunakan juga oleh L.K. Bohang ketika mengkritik puisi Amir Hamzah, penyair senior J.E. Tatengkeng dalam salah satu esainya, dan terus digunakan dalam Pokok dan Tokoh (Teeuw, 1951) serta Beberapa Pahaman Angkatan ‘45 karya Aoh K. Hadimadja.Selain itu, kita juga harus mempertimbangkan istilah-istilah lain yang terkait dengan kesusastraan Melayu, yaitu “pustaka” atau “pestaka (library), “karangan” (gubahan), dan “ikat-ikatan”. Dalam bahasa Sansketera, pustaka adalah istilah umum yang merujuk pada buku. Namun, dalam bahasa Melayu klasik, pustaka atau pestaka biasanya digunakan untuk merujuk pada kutukan, hujatan, mantera sihir, dan guna-guna atau jampi-jampi. Frase “membuka pustaka” di dalam beberapa hikayat merujuk pada perapalan suatu mantera atau guna-guna atau membuka sebuah kitab istimewa untuk meramal. Namun, pengertian yang sampai sekarang masih bertahan dalam bahasa Melayu (dan juga dalam bahasa Indonesia) masih mencakup pengertian tentang buku, baik dalam daftar buku-buku tentang sebuah pokok bahasan yang khusus (“kepustakaan”, atau bibliografi) maupun himpunan buku (“perpustakaan”, yang juga berarti perpustakaan sebagai tempat penyimpanan buku (Teeuw, 1984: 21-24).Mat Piah et.al. (2002: 3) menjelaskan bahwa istilah “karangan” merujuk pada sebuah karya tulis yang indah atau tulisan yang mempunyai nilai sastrawi. Istilah ini juga dapat bermakna “komposisi” atau “esai” (kata kerja “karang” sendiri mengandung pengertian menyusun sesuatu, misalnya bunga atau manik-manik, dengan cara yang indah). Istilah ini juga diterapkan bagi kesusastraan secara keseluruhan. Istilah “karangan” juga menurunkan beberapa istilah lain, misalnya, “karangan berangkap”. Sedangkan Saleh (2000: 15-16) menerangkan bahwa istilah persuratan yang merujuk pada makna yang sama dengan “kesusastraan banyak digunakan di Malaysia sebelum Perang Dunia II, terutama oleh Za‘ba ketika menulis buku-buku bahasanya di Maktab Perguruan Sultan Idris dan sewaktu menjabat sebagai Ketua Jabatan Pengajian Melayu, Universiti Malaya, Singapura. Sejak akhir 1950-an, istilah “karangan” dan “persuratan” digunakan secara bergantian.MelayuOnline.com akan menggunakan istilah “kesusastraan” untuk merujuk pada semua bentuk ekspresi bahasa yang memiliki struktur, termasuk yang berbentuk oral atau lisan. Istilah “kesusastraan” dapat merujuk pada semua bentuk ekspresi verbal, baik yang tertulis maupun lisan. Istilah ini mencakup juga semua teks yang estetis, yang diniatkan untuk dinikmati melalui kegiatan menyimak atau membaca.Dalam penulisannya, “kesusastraan” sering pula ditulis sebagai “kesusasteraan” (dengan “e”). Namun perbedaan ini tidak signifikan karena hanya disebabkan oleh perbedaan konvensi penulisan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Melayu/Malaysia. Sehingga, kedua cara penulisan tersebut dapat digunakan secara bergantian dengan referensi dan makna yang sama.Bahasa MelayuKriteria yang fundamental dalam kesusastraan adalah kriteria linguistik. Dengan demikian, kedudukan penting bahasa Melayu dalam Kesusastraan Melayu tak terelakkan. Setiap teks dalam Kesusastraan Melayu merupakan teks yang telah dilisankan, disalin ulang atau ditulis dalam bahasa Melayu, tanpa memperhitungkan perbedaan lokasi fisik, geografi atau perbatasan politik yang mungkin saja dapat menghasilkan dialek dan isolek yang berbeda-beda.Noriah Mohamed (2000: 41-43) menjelaskan bahwa berdasarkan hasil kajian perbandingan dalam linguistik sejarah dan perbandingan, bahasa Melayu dapat dikelompokkan ke dalam kelompok yang diberi nama rumpun Austronesia (rumpun bahasa-bahasa di pulau selatan). Bahasa-bahasa dalam rumpun bahasa ini tersebar luas dari Formosa di utara ke New Zealand di selatan dan dari Madagaskar di barat ke kepulauan Paskah di timur. Sedangkan menurut nasabnya, rumpun bahasa Austronesia, bersama dengan rumpun bahasa Austroasia, diturunkan dari Filum bahasa Austrik. Rumpun bahasa Austronesia ini kemudian menurunkan rumpun Austronesia Barat (meliputi keluarga bahasa Indonesia) dan rumpun Austronesia timur (meliputi keluarga bahasa Melanesia, Mikronesia, dan Polinesia). Bahasa Melayu merupakan subkeluarga Indonesia Pusat, bersama dengan bahasa Bumiputera di Serawak (kecuali bahasa Bisayah), bahasa-bahasa di Kalimantan, dan bahasa-bahasa di Kepulauan Indonesia. Perpisahan keluarga bahasa Indonesia Pusat dianggap terjadi pada masa Deutero Melayu, kurang lebih 1500 SM. James T Collins (2004: 4-5) menguraikan bahwa sebagian besar ahli terkemuka dalam bidang arkeologi Austronesia dan linguistik menyepakati bahwa tempat asal bahasa Melayu adalah Kalimantan Barat. Tipologi daerah ini didominasi perairan sehingga komunitas penutur bahasa Melayu di daerah ini memiliki teknologi transportasi air yang memungkinkan mereka untuk mulai menyebar ke daerah-daerah lain, seperti Riau, pulau Bangka, pulau Belitung, Pulau Luzon, Kepulauan Maluku, dan Semenanjung Malaysia.Bukti tertulis yang paling tua tentang keberadaan bahasa Melayu adalah Prasasti Kedukan Bukit yang berasal dari abad ke-7 M (682 M) (UU. Hamidy, 1998: 9)). Prasasti ini ditemukan di tepi sungai Tatang, salah satu anak sungai Musi di Palembang, Sumatra Selatan. Bahasa Melayu yang tergurat pada prasasti ini sering disebut sebagai bahasa Melayu Kuno. Kata-katanya ditulis dengan aksara Palawa yang dipinjam dari India dan sudah sulit untuk dipahami lagi oleh orang Melayu modern. Bahasa Melayu Kuno ini sangat dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta, yang merupakan lingua franca dalam agama Hindu dan Buddha. Prasasti ini menyebutkan tentang kerajaan Sriwijaya, kerajaan besar pertama yang sering dianggap sebagai kerajaan nasional Indonesia yang pertama. Sedangkan Batu Bersurat Terengganu (1303) yang ditemukan di Terengganu menjadi bukti bahwa bahasa Melayu telah berkembang dan mengenal jenis tulisan lain sebelum berjaya pada masa Kesultanan Malaka. Bahasa Melayu yang tergurat pada prasasti ini sering juga disebut sebagai bahasa Melayu Modern awal (Mohamed, 2000: 43). Kata-katanya ditulis dengan menggunakan huruf Jawi. Inilah jenis huruf yang digunakan untuk menuliskan bahasa Melayu secara utuh dan sistematis serta dapat dipelajari hingga sekarang.Bahasa Melayu berkembang pesat pada masa kejayaan Kesultanan Malaka (1402-1511) setelah menerima pengaruh dari kesusastraan Islam. Kosakata bahasa Melayu berubah oleh melimpahnya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab, Persia, dan Hindi. Selain itu, bahasa Melayu ini, yang sering disebut sebagai bahasa Melayu Klasik (Mohamed, 2000: 77), juga menghasilkan kesusastraan tertulis yang kini menjadi karya-karya klasik. Bahasa Melayu juga menjadi bahasa lingua franca yang digunakan sebagai alat komunikasi, terutama dalam perdagangan, di antara bangsa-bangsa di Gugus Pulau-pulau Melayu.Setelah kedatangan bangsa-bangsa Barat, bahasa Melayu tetap menjadi lingua franca. Perbendaharaan kosakata bahasa Melayu juga semakin berkembang dengan serapan kata-kata dari berbagai bahasa lain, yaitu Tionghoa, Portugis, Inggris dan Belanda, karena tingginya intensitas interaksi di antara berbagai kepentingan ekonomi yang beroperasi di Asia Tenggara. Selain itu, bahasa Melayu juga menempati kedudukan yang tinggi karena menjadi bahasa yang digunakan dalam perhubungan resmi-legal antarbangsa, seperti yang terlihat ketika penguasa Spanyol di Filipina mengirim surat berbahasa Melayu kepada sultan Brunei untuk meminta bantuan (Collins, 2005: 31). Pada periode ini, bahasa Melayu juga memperoleh fungsi baru, yaitu sebagai sarana penyebaran agama Kristen, dengan dicetaknya sebuah buku berjudul SOVRAT A B C. Buku yang dicetak di Amsterdam pada 1611 ini adalah buku pertama bahasa Melayu yang khusus dibuat untuk orang Melayu dan dimaksudkan untuk mengajarkan bagian dasar Kristen Calvinistic kepada budak dan pelayan yang masih muda yang berbicara dalam bahasa Melayu, termasuk Sepuluh Perintah Allah, Pasal Keimanan, dan beberapa doa (Collins, 2005: 55).Pada perkembangan selanjutnya, bahasa Melayu dipengaruhi oleh kekuasaan politik imperial dan kolonial karena menjadi bagian dari skema dominasi dan kontrol politis-administratif atas rakyat jajahan. Pada masa kekuasaan kolonial Hindia Belanda di Indonesia, bahasa Melayu dialek Riau dijadikan sebagai bahasa resmi kedua setelah bahasa Belanda pada 1871 dan disistematiskan oleh van Ophuijsen pada 1910 (Hamidy, 1998: 18). Di belahan utara kawasan Melayu, yang terdiri dari Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam, bahasa Melayu ditetapkan sebagai bahasa administratif kedua setelah bahasa Inggris. Akibatnya, bahasa Melayu yang ada di belahan utara mengalami perkembangan yang berbeda dari bahasa Melayu yang berkembang di belahan selatan (Indonesia). Bahasa Melayu di Indonesia, yang kemudian menjadi bahasa Indonesia, semakin berbeda dari bahasa Melayu di belahan utara setelah menyerap lagi perbendaharaan kata bahasa daerah, terutama bahasa Jawa (Hamidy, 1998: 14). Namun, selain bahasa Melayu yang disistematiskan oleh penguasa resmi, bangsa Melayu di berbagai daerah juga mengembangkan ragam, dialek, dan isolek di lokasi-lokasi geografis yang berbeda-beda. Di Hindia Belanda, misalnya, berkembang bahasa Melayu Pasar yang digunakan terutama dalam perdagangan yang didominasi oleh etnis Tionghoa (ragam bahasa yang kemudian sering juga disebut sebagai bahasa Melayu Tionghoa).Setelah Perang Dunia II, bahasa Melayu menjadi bahasa nasional, persatuan, resmi, dan kenegaraan, dengan kedudukan dan sebutan yang berbeda-beda di kawasan utama persebaran bahasa Melayu, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Di Indonesia, ragam bahasa Melayu yang telah disistematisasikan oleh Balai Pustaka disebut sebagai bahasa Indonesia dan ditetapkan sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi. Di Brunei Darussalam, sebagaimana yang ditetapkan dalam Perlembagaan Bertulis Negeri Brunei 1959, bahasa Melayu tetap disebut sebagai Bahasa Melayu (Haji Hashim Haji Abdul Hamid, 1994: 223). Ketika Singapura terpisah dari Malaysia pada 1965, bahasa Melayu dijadikan bahasa kebangsaan Singapura dan salah satu daripada empat bahasa resmi negara tersebut (Abdul Rashid Melebek & Amat Juhari Moain, 2006: 34). Setelah kemerdekaan Malaysia pada 31 Agustus 1957, bahasa Melayu tetap disebut sebagai bahasa Melayu dan dan ditetapkan sebagai bahasa nasional dalam Artikel 152 Perlembagaan Malaysia (Maman S. Mahayana, 1995: 7). Sejak 16 Agustus 1972, setelah ditetapkannya Sistem Ejaan Baru, bahasa Melayu di Malaysia disebut sebagai Bahasa Malaysia.Kesusastraan MelayuKesusastraan Melayu” dapat didefinisikan sebagai “himpunan hasil-hasil sastra yang menggunakan bahasa Melayu sebagai mediumnya, yang berwujud tulisan maupun lisan, dan hidup serta berkembang di kawasan persebaran bangsa, budaya, dan bahasa Melayu”.Karena persebaran bangsa, budaya, dan bahasa Melayu tersebut dipengaruhi oleh proses sejarah—baik pada zaman pra-kolonial, kolonial, maupun pascakolonial—maka kesusastraan Melayu pun berkembang sesuai dengan perubahan sosio-kultural yang terjadi pada masyarakat penyangganya, termasuk di dalamnya lokasi spesifik tempat suatu teks diciptakan. Lokasi spesifik ini patut dipertimbangkan karena dengan adanya batas-batas geopolitik di wilayah Asia Tenggara, dapat dikatakan bahwa Kesusastraan Melayu mengalami “perpecahan”. Hasil-hasil Kesusastraan Melayu mengalami lokalisasi, atau nasionalisasi, sesuai dengan batas-batas administratif-politik negara nasional. Pada sastra Melayu Tradisional/Lama/Klasik, “keterpecahan” itu tidak begitu kentara atau bahkan dapat dikatakan tidak ada. “Keterpecahan” itu baru terlihat dengan lebih jelas setelah munculnya bentuk-bentuk sastra modern, yang antara lain ditandai oleh penerbitan bahan bacaan oleh badan-badan literasi bentukan pemerintah kolonial di Hindia Belanda (Indonesia) dan Malaysia—dua lokasi utama persebaran bangsa, budaya dan bahasa Melayu.“Keterpecahan” itu terlanjur menimbulkan “kebingungan” di kalangan ilmuwan dan sejarawan sastra. Misalnya, walaupun terpisah oleh batas-batas politik nasional pascakemerdekaan RI, namun publik sastra Indonesia dan Malaysia sama-sama mengakui bahwa pelopor kesusastraan Melayu baru, yang kemudian berkembang menjadi kesusastraan Indonesia modern dan kesusastraan nasional Malaysia, adalah Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, sementara yang dianggap sebagai “Bapak Kesusastraan Melayu” adalah Raji Ali Haji, penggubah gurindam terkenal Gurindam Dua Belas (Mahayana, 1995: 152-160).Namun, ketika penyusunan periodisasi yang memasuki masa “modern” (dalam pengertian telah menerima pengaruh Barat secara massif) harus dilakukan secara ketat, kesulitan lain muncul. Ajip Rosidi, misalnya, menekankan perlunya pembedaan antara istilah-istilah “Melayu”, “Nusantara”, dan “Indonesia” ketika dikaitkan dengan kesusastraan Indonesia. Menurut Ajip Rosidi (1973: 22-23), jika asas nasionalisme yang dipakai dalam penyusunan periodisasi sastra Indonesia, sebagaimana yang diterapkan dalam periodisasi sastra Indonesia oleh Nugroho Notosusanto, maka istilah “Sastra Melayu Lama” tidak tepat. Istilah yang seharusnya digunakan adalah “Sastra Indonesia Klasik”, yang tidak hanya meliputi karya-karya sastra yang ditulis dalam bahasa (daerah) Melayu saja, melainkan dalam semua bahasa (daerah) yang terdapat di seluruh kepulauan Nusantara, sehingga namanya pun lebih tepat disebut sebagai “Sastra Nusantara Klasik”. Artinya, ke dalamnya termasuk sastra Jawa, Bali, Aceh, Makassar, Bugis, dan lain-lain yang klasik.Kehidupan dan perkembangan Kesusastraan Melayu sejak masa lampau hingga saat ini masih terus berlangsung. Untuk memudahkan apresiasi dan uraian yang berkaitan dengan Kesusastraan Melayu, MelayuOnline.com mengklasifikasikannya menjadi dua kategori, yaitu Kesusastraan Melayu Tradisional dan Kesusastraan Melayu Modern tanpa menerapkan klasifikasi berdasarkan batas-batas geografis yang ditentukan oleh negara nasional (kecuali untuk subgenre cerita rakyat, yang tetap diklasifikasi berdasarkan geografi, karena dianggap lebih memudahkan navigasi situs). Dengan demikian, kesusastraan Melayu secara umum dipandang sebagai lanskap luas artefak dan proses budaya yang terus berlangsung namun sedapat mungkin dibebaskan dari batas-batas politik. MelayuOnline.com juga melakukan pembahasan singkat tentang latar belakang sejarah Kesusastraan Melayu.(An. Ismanto/08/08-09)______________ 

Referensi
  1. Collins, James T., 2005. Bahasa Melayu bahasa dunia: sejarah singkat. Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Alma Evita Almanar. Jakarta: KITLV, Pusat Bahasa, dan Yayasan Obor Indonesia. Hamid, Haji Hashim Haji Abdul, 1994.  
  2. Melayu Islam Beraja Suatu kesinambungan sejarah Brunei. Dalam: Awang Haji Muhammad Bin Abdulk Latif et.al. ed. 1994.  
  3. Brunei di tengah-tengah Nusantara. Bandar Seri Begawan: Jabatan Pusat Sejarah Kebudayaan Belia dan Sukan, hal. 219-227. Hamidy, UU., 1998.
  4. Dari bahasa Melayu sampai bahasa Indonesia. Cet. 2. Pekanbaru: Universitas Lancang Kuning Press. Mahayana, Maman S., 1994.  
  5. Kesusastraan Malaysia Modern. Jakarta: Pustaka Jaya. Mat Piah, Harun, et.al., 2002.
  6. Traditional Malay Literature. Diterjemahkan dari bahasa Malaysia ke dalam Bahasa Inggris oleh Harry Aveling. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Melebek, Abdul Rashid & Moain, Amat Juhari, 2006. Sejarah bahasa Melayu. Singapura: Utusan Publications. Mohamed, Noriah, 2000. Sejarah sosiolinguistik bahasa Melayu Lama. Pulau Pinang: Penerbit Universiti Sains Malaysia. Rosidi, Ajip, 1973. Masalah angkatan dan periodisasi sejarah sastra Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya. Saleh, Muhammad Haji, 2000. Puitika sastra Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Teeuw, A., 1984. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya.

Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 komentar

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

Kenangan Tak Terlupakan

Hari menjelang pagi ketika bus yang kutumpangi telah sampai di kota Palembang. Aku merasa lelah dan masih terasa kantuk, karena sehari semalam di perjalanan sejak berangkat dari kota Depok untuk menuju kota yang selama ini hanya sebatas angan dan tak pernah kubayangkan akan kusinggahi. Betapa perjalanan yang kutempuh harus melalui sebuah perjuangan yang tak kenal lelah, ketika sebelumnya masih segar dalam ingatan bagaimana aku memohon kebijakasanaan kepada dua orang temanku yang baru saja menikmati jabatan struktural di kantor yang sama denganku. Perjuangan yang panjang memang telah menghasilkan sesuatu yang selama ini aku idam-idamkan, yakni keinginanku untuk menjadi seorang auditor sesuai dengan pendidikan yang telah aku terima beberapa tahun sebelumnya. Dikarenakan kawan-kawanku telah terlebih dahulu menikmati jabatan fungsional yang banyak diinginkan oleh semua orang di kantorku. Termasuk aku sendiri pun menginginkannya. Namun karena kebijakan waktu itu tidak kondusif, maka aku pun tak dapat memperjuangkannya. Panjangnya Birokrasi dan sistem politik yang membelenggu kebebasan berdemokrasi (berbeda pendapat) tidak memungkinkan setiap orang untuk berani mengajukan usulan apalagi tuntutan.

Namun semua itu telah berlalu. Hari kebebasan pun bisa aku nikmati saat ini. Aku berani mengajukan usulan dan tuntutan, meski hasil yang kan didapat tak bisa ditebak. Semua berpulang pada kebijaksanaan kedua kawanku tersebut. Alhasil setelah kutunggu-tunggu usulan dan tuntutan itu membuahkan kemenangan di pihakku. Dari hasil perjuanganku itu masih kurasakan ganjalan yang mengarah pada sentimen dari kawan-kawanku yang tak percaya bahwa usulan dan tuntutanku itupun terpenuhi. Mereka tak percaya dengan alasan bahwa usulan dan tuntutan itu harus keluar biaya dari diri sendiri. Bagi mereka mustahil, jika permintaan itu datang dariku dan dibiayai oleh dinas atau kantor, bukan dari kantongku sendiri. Tapi, apapun ocehan dan atau ucapan mereka, aku hanya menganggap ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’. Perduli amat mendengarkan ucapan mereka yang iri atau sentimen dengan usahaku. Terpenting bagiku adalah kenyataan yang kudapat memang demikian adanya. Titik.

Haripun telah menyongsong pagi dan tak lama lagi akan datang siang. Aku menjejakkan kakiku di bumi ‘Sriwijaya’, kata orang Palembang. Aku berharap, pagi yang cerah ini juga akan membawa cerah pula usahaku disini. Cita-cita telah kutanamkan pada jiwa dan batin ini, semoga aku mendapatkan kebahagiaan.

Hari pertama aku belum melakukan tugas atau kegiatan apapun di kantor yang baru. Aku hanya melapor kedatanganku kepada Kepala Perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan wilayah II Palembang. Waktu yang ada aku gunakan untuk berkenalan atau memperkenalkan diri kepada kawan-kawan baruku, meski ada juga beberapa kawan lamaku yang dulunya dari kantor di Jakarta, tetapi mereka pindah kesini telah lebih dulu dari aku. Ada kawanku yang kuanggap sukses setelah berpindah dari kantor Jakarta. Ini yang memotivasi, kalau akupun harus sukses seperti kawanku itu. Kawanku itu berinisial KD (yang beserta isteri dan anaknya pindah ke Medan sebelumnya). Ia sukses dengan memiliki rumah dan mobil sendiri (yang sebelumnya aku tahu kalau dia itu seperti apa). Aku melihat sisi positifnya dan dapat kupelajari sebagai bekal aku hidup disini. Aku tak mau hanya terpesona atau terpaku dengan keberhasilannya, bagiku langkah selanjutnya adalah menata hari-hari berikut yang akan aku lalui. Segala daya upaya akan aku lakukan untuk mencapai tujuanku.

Hari kedua aku masih seperti hari kemarin, belum melakukan kegiatan sebagimana layaknya bekerja di kantor. Aku saat itu masih memikirkan posisi aku yang belum mempunyai unit kerja, karena masih bersifat sementara, dimana keadaan kantor baru saja berbenah sehabis pindahan dari kantor yang lama di Jalan Demang Lebar Daun ke Jalan Kapten Anwar Sastro atau lebih dikenal dengan sebutan Jalan Lorong Kulit. Ya, jalan lorong kulit memang nama yang diberikan waktu itu dan orang-orang pun lebih kenal dan tahu nama jalan itu meski sudah berganti nama. Pada hari kedua aku meminta izin kepada atasanku untuk mencari tempat tinggal sementara sebelum keluargaku ikut bersamaku. Keluargaku masih tinggal di Kota Depok – Jawa Barat dikarenakan aku harus mencari tempat tinggal dan sekolah untuk mereka. Aku memiliki lima orang anak yang terdiri dari tiga orang puteri dan dua orang putera yang kesemuanya harus kuurus kebutuhannya. Aku mencari tempat penginapan/rumah sewa untuk keluargaku, yang menurut aku harus dekat dengan kantor dan juga sekolah anak-anakku. Selain itu biaya sewa yang tak terlalu mahal atau terjangkau. Karena aku belum mengerti seluk beluk Kota Palembang, ditambah lagi cerita-cerita yang kurang sedap tentang masyarakat palembang yang suka main ‘tujah’ atau tusuk. Benarkah demikian?

Dalam perjalan kisahku ini akan terjawab apa yang telah aku terima gambaran dari perilaku masyarkat Palembang yang ‘kriminal’ ternyata salah dan tak semuanya seperti itu. Di awal-awal aku singgah atau tinggal di Kota Palembang, perasaan was-was atau takut masih menempel dibenakku. Bila malam tiba, aku lebih banyak mengurung diri di dalam kamar, tapi sekali-sekali aku bercengkerama dengan teman satu kost, untuk mengusir kesendirianku di perantauan. Aku mulai memiliki teman. Aku mulai berkenalan dengan teman-reman satu kost. Satu persatu aku tahu siapa mereka. Ada yang bekerja di swasta, tapi kebanyakan adalah pegawai negeri sipil, termasuk teman sekantor yang bernama Zawernis Duko yang asal padang-Sumatera Barat dan Untoro yang asal Jawa.

O ya, aku bisa mendapatkan tempat kost-an karena jasa seseorang yang sebenarnya adalah atasanku di kantor. Beliaulah yang menunjukkan tempat kost-an tersebut kepadaku, yang ternyata sangat dekat dengan kantorku. Beliau telah meninggal dunia pada tahun 2007, setelah aku pindah di Lampung (Kota Bandar Lampung). Aku dan juga keluarga merasa ikut kehilangan atas berpulang kerahmatullahnya, karena beliau punya jasa yang tak kan pernah kami lupakan selamanya. Selama keberadaanku di kantor perwakilan di palembang, aku sangat terbantu dalam tugas-tugas pemeriksaan. Sebagai contoh, aku mendapat tugas hingga lima (5) kali dalam tahun 2005, sampai sampai banyak teman yang iri dan curiga dengan kedekatanku pada beliau itu. Sungguh aku dekat dengan bleiau karena faktor perteman/persahabatan dan juga kekeluargaan, sehingga murni tak ada maskud lain.

Hari demi hari kulalui, tak terasa tahunpun berganti. Banyak cobaan datang silih berganti. Kenyamanan dalam aku bekerja terasa semakin menurun, dikarenakan adanya tekanan, gunjingan, bahkan finahan yang datang mengahmpiriku....(bersambung)

“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: “Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?” Isa menjawab: “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib-gaib”. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan) nya yaitu: “Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu”, dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu.” (QS. Al Maaidah: 116-117).

Fauna

Fauna
Penguin yang cantik

Search

 
Posts RSSComments RSSBack to top
© 2011 Kesusasteraan Indonesia ∙ Designed by BlogThietKe | Distributed by Rocking Templates
Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0