Pages

Sebuah karya dari anak bangsa berupa bakat terpendam barangkali dapat bermanfaat bagi siapa saja yang suka.

KATA-KATA MUTIARA

Oleh : Imam Supriadi)

A. PERIHAL KEBENARAN :

1. Kebenaran bukan diukur dari banyak dan sedikitnya orang yang berpendapat melainkan diukur dari kedalaman hati yang paling dalam yakni Hati Nurani.

2. Nyatakanlah yang benar itu Benar dan yang salah itu Salah, walau pahit sekalipun.

3. Menyatakan kebenaran tidak mesti berbuah pada hari yang sama.

4. Mengusung kebenaran pastilah banyak tentangan dan tantangannya.

5. Kebenaran sejati hanya ada di akhirat kelak. Tetapi kebenaran di dunia bukanlah tidak diperjuangkan, meski banyak tentangan dan tantangannya.

6. Berbuat kebaikan belum tentu berbuah kebenaran, tetapi yakinlah jika berbuat kebenaran akan berbuah kebaikan.

B. PERIHAL CINTA :

1. Mencintai seseorang tidaklah harus mengorbankan segala-galanya, karena akan berakibat mencintai dengan secara membabibuta.

2. Cinta tidak diukur dari seberapa banyak orang yang dicintai telah memberikan harta dan bendanya, melainkan seberapa dalam ketulusan hati yang telah diperlihatkan untuk yang dicintainya.

3. Orang yang beriman mengukur cintanya berdasarkan tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadits.

4. Orang yang beriman itu cintanya semata hanya untuk Allah dan Rosulnya, bukan untuk kekasihnya atau siapapun yang bisa menjebaknya menjadi imannya berat sebelah.

5. Isteri yang sholihah adalah isteri yang bersolek karena tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Artinya, ia bersolek karena untuk kebutuhan suami tercinta, demi menjaga keutuhan cintanya kepada suami tercinta.

6. Cinta karena nafsu akan cepat pudar, tetapi Cinta karena Iman akan tetap langgeng.

7. Isteri yang setia adalah isteri yang bisa menjaga martabat suami dan dirinya.

8. Berbahagialah sepasang kekasih yang bisa selamat sampai ke pelaminan karena telah menjaga ‘harta’ yang paling berharga, karena ‘harta’ itu hanya diberikan ketika ijab qobul selesai diucapkan dihadapan Penghulu, Wali dan Para Saksi.

Rabu, 11 Januari 2012

Haji Abdul Malik Karim Amrullah


Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan Hamka, yakni singkatan namanya, (lahir di Maninjau, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik. Hamka diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan Keppres No. 113/TK/Tahun 2011 pada tanggal 9 November 2011.[1]
Hamka merupakan salah satu orang Indonesia yang paling banyak menulis dan menerbitkan buku. Oleh karenanya dia dijuluki sebagai Hamzah Fansuri di era modern.[2] Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan untuk orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.
Ayahnya adalah Haji Abdul Karim bin Amrullah, yang merupakan pendiri Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Sementara ibunya adalah Siti Shafiyah Tanjung yang meninggal pada tahun 1934. Dalam silsilah Minangkabau, ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya.
  
Masa Kecil
Hamka mendapat pendidikan rendah pada usia 7 tahun di Sekolah Dasar Maninjau selama dua tahun. Ketika usianya mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka kemudian mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Melalui sebuah perpustakaan yang dimiliki oleh salah seorang gurunya, Engku Dt. Sinaro, bersama dengan Engku Zainuddin, Hamka diizinkan untuk membaca buku-buku yang ada diperpustakaan tersebut, baik buku agama maupun sastra.

Merantau 

Hamka mulai meninggalkan kampung halamannya untuk menuntut ilmu di Pulau Jawa, sekaligus ingin mengunjungi kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur yang tinggal di Pekalongan, Jawa Tengah. Untuk itu, Hamka kemudian ditumpangkan dengan Marah Intan, seorang saudagar Minangkabau yang hendak ke Yogyakarta. Sesampainya di Yogyakarta, ia tidak langsung ke Pekalongan. Untuk sementara waktu, ia tinggal bersama adik ayahnya, Ja’far Amrullah di kelurahan Ngampilan, Yogyakarta. Barulah pada tahun 1925, ia berangkat ke Pekalongan, dan tinggal selama enam bulan bersama iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur.

Menunaikan ibadah Haji

Pada tahun 1927, Hamka berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sekembalinya dari Mekkah, dalam suatu rapat adat niniak mamak nagari Sungai Batang, kabupaten Agam, Engku Datuk Rajo Endah Nan Tuo, memaklumkan Hamka dengan gelar Datuk Indomo, yang merupakan gelar pusaka turun temurun dalam suku Tanjung. Pada tahun 1950, Hamka kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya.

Menikah

Pada tanggal 5 April 1929, Hamka dinikahkan dengan Siti Raham binti Endah Sutan, yang merupakan anak dari salah satu saudara laki-laki ibunya. Dari perkawinannya dengan Siti Raham, ia dikaruniai 11 orang anak. Mereka antara lain Hisyam, Zaky, Rusydi, Fakhri, Azizah, Irfan, Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif, dan Syakib. Setelah istrinya meninggal dunia, satu setengah tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1973, ia menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Hj. Siti Khadijah.

Karier

Aktivis Islam

Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama di Padang Panjang pada tahun 1927. Kemudian ia mendirikan cabang Muhammadiyah di Padang Panjang dan mengetuai cabang Muhammadiyah tersebut pada tahun 1928. Pada tahun 1931, ia diundang ke Bengkalis untuk kembali mendirikan cabang Muhammadiyah. Dari sana ia melanjutkan perjalanan ke Bagansiapiapi, Labuhan Bilik, Medan, dan Tebing Tinggi, sebagai mubaligh Muhammadiyah. Pada tahun 1932 ia dipercayai oleh pimpinan Muhammadiyah sebagai mubaligh ke Makassar, Sulawesi Selatan. Ketika di Makassar, sambil melaksanakan tugasnya sebagai seorang mubaligh Muhammadiyah, ia memanfaatkan masa baktinya dengan sebaik-baiknya, terutama dalam mengembangkan lebih jauh minat sejarahnya. Ia mencoba melacak beberapa manuskrip sejarawan muslim lokal. Bahkan ia menjadi peneliti pribumi pertama yang mengungkap secara luas riwayat ulama besar Sulawesi Selatan, Syeikh Muhammad Yusuf al-Makassari. Bukan itu saja, ketika di Makassar ia juga mencoba menerbitkan majalah pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan. Majalah tersebut diberi nama "al-Mahdi".
Pada tahun 1934, Hamka meninggalkan Makassar dan kembali ke Padang Panjang, kemudian berangkat ke Medan. Di Medan—bersama M. Yunan Nasution—ia mendapat tawaran dari Haji Asbiran Ya'kub, dan Mohammad Rasami (mantan sekretaris Muhammadiyah Bengkalis) untuk memimpin majalah mingguan Pedoman Masyarakat. Melalui rubrik Tasawuf modern, tulisannya telah mengikat hati para pembacanya, baik masyarakat awam maupun kaum intelektual, untuk senantiasa menantikan dan membaca setiap terbitan Pedoman Masyarakat. Pemikiran cerdas yang dituangkannya di Pedoman Masyarakat merupakan alat yang sangat banyak menjadi tali penghubung antara dirinya dengan kaum intelektual lainnya, seperti Natsir, Hatta, Agus Salim, dan Muhammad Isa Anshary.
Pada tahun 1945 Hamka kembali ke Padang Panjang. Sesampainya di Padang Panjang, ia dipercayakan untuk memimpin Kulliyatul Muballighin dan menyalurkan kemampuan jurnalistiknya dengan menghasilkan beberapa karya tulis. Di antaranya: Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, dan Dari Lembah Cita-Cita. Pada tahun 1949, Hamka memutuskan untuk meninggalkan Padang Panjang menuju Jakarta. Di Jakarta, ia menekuni dunia jurnalistik dengan menjadi koresponden majalah Pemandangan dan Harian Merdeka. Ia kemudian mengarang karya otobiografinya, Kenang-Kenangan Hidup pada tahun 1950. Di samping itu, ia juga aktif di kancah politik melalui Masyumi.
Pada tahun 1950, setalah menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya, Hamka melakukan kunjungan ke beberapa negara Arab. Di sana, ia dapat bertemu langsung dengan Thaha Husein dan Fikri Abadah. Sepulangnya dari kunjungan tersebut, ia mengarang beberapa buku roman. Di antaranya Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah.

Politik

Pada Pemilu 1955, Hamka terpilih menjadi anggota konstituante mewakili Jawa Tengah. Akan tetapi pengangkatan tersebut ditolak karena merasa tempat tersebut tidak sesuai baginya. Atas desakan kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur, akhirnya Hamka menerima untuk diangkat menjadi anggota konstituante. Sikapnya yang konsisten terhadap agama, menyebabkannya acapkali berhadapan dengan berbagai rintangan, terutama terhadap beberapa kebijakan pemerintah. Keteguhan sikapnya ini membuatnya dipenjarakan oleh Soekarno dari tahun 1964 sampai 1966. Pada awalnya, Hamka diasingkan ke Sukabumi, kemudian ke Puncak, Megamendung, dan terakhir dirawat di rumah sakit Persahabatan Rawamangun, sebagai tawanan. Di dalam penjara ia mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya.[3]
Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia. Semasa jabatannya, Hamka mengeluarkan fatwa yang bersisi penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang akan memberlakukan RUU Perkawinan tahun 1973, dan mengecam kebijakan diperbolehkannya merayakan Natal bersama umat Nasrani. Meskipun pemerintah mendesaknya untuk menarik kembali fatwanya tersebut dengan diiringi berbagai ancaman, Hamka tetap teguh dengan pendiriannya. Akan tetapi, pada tanggal 19 Mei 1981, Hamka memutuskan untuk melepaskan jabatannya sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia, karena fatwanya yang tidak kunjung dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Sastrawan

Hamka juga merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, ia menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, ia menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.
Hamka juga banyak menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya lain seperti novel dan cerpen. Pada tahun 1928, Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa Minang dengan judul si Sabariah. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang berbentuk roman, sejarah, biografi dan otobiografi, sosial kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan, teologi, tasawuf, tafsir, dan fiqih. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir al-Azhar. Di antara novel-novelnya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli juga menjadi perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia terima, baik peringkat nasional maupun internasional.
Pada tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, Cairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.
Hamka meninggal dunia pada 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun dan dikebumikan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Jasanya bukan hanya diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, bahkan di Malaysia dan Singapura.

Daftar karya

  1. Kenang-Kenangan Hidup, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
  2. Ayahku (Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangannya), Jakarta: Pustaka Wijaya, 1958.
  3. Khatib al-Ummah, 3 Jilid, Padang Panjang, 1925.
  4. Islam dan Adat, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
  5. Kepentingan Melakukan Tabligh, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
  6. Majalah Tentera, 4 nomor, Makassar, 1932.
  7. Majalah al-Mahdi, 9 nomor, Makassar, 1932.
  8. Bohong di Dunia, cet. 1, Medan: Cerdas, 1939.
  9. Agama dan Perempuan, Medan: Cerdas, 1939.
  10. Pedoman Mubaligh Islam, cet. 1, Medan: Bukhandel Islamiah, 1941.
  11. Majalah Semangat Islam, 1943.
  12. Majalah Menara, Padang Panjang, 1946.
  13. Hikmat Isra’ Mi’raj, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
  14. Negara Islam, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
  15. Islam dan Demokrasi, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
  16. Revolusi Fikiran, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
  17. Dibandingkan Ombak Masyarakat, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
  18. Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.
  19. Revolusi Agama, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.
  20. Sesudah Naskah Renville, 1947 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
  21. Tinjauan Islam Ir. Soekarno, Tebing Tinggi, 1949.
  22. Pribadi, 1950 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
  23. Falsafah Hidup, cet. 3, Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1950.
  24. Falsafah Ideologi Islam, Jakarta: Pustaka Wijaya, 1950.
  25. Urat Tunggang Pancasila, Jakarta: Keluarga, 1951.
  26. Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1952.
  27. K.H. A. Dahlan, Jakarta: Sinar Pujangga, 1952.
  28. Perkembangan Tashawwuf dari Abad ke Abad, cet. 3, Jakarta: Pustaka Islam, 1957.
  29. Pribadi, Jakarta: Bulan Bintang, 1959.
  30. Pandangan Hidup Muslim, Jakarta: Bulan Bintang, 1962.
  31. Lembaga Hidup, cet. 6, Jakarta: Jayamurni, 1962 (kemudian dicetak ulang di Singapura oleh Pustaka Nasional dalam dua kali cetakan, pada tahun 1995 dan 1999).
  32. 1001 Tanya Jawab tentang Islam, Jakarta: CV. Hikmat, 1962.
  33. Cemburu, Jakarta: Firma Tekad, 1962.
  34. Angkatan Baru, Jakarta: Hikmat, 1962.
  35. Ekspansi Ideologi, Jakarta: Bulan Bintang, 1963.
  36. Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, Jakarta: Tintamas, 1965 (awalnya merupakan naskah yang disampakannya pada orasi ilmiah sewaktu menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Mesir, pada 21 Januari 1958).
  37. Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
  38. Lembaga Hikmat, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1966.
  39. Dari Lembah Cita-Cita, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
  40. Hak-Hak Azasi Manusia Dipandang dari Segi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
  41. Gerakan Pembaruan Agama (Islam) di Minangkabau, Padang: Minang Permai, 1969.
  42. Hubungan antara Agama dengan Negara menurut Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1970.
  43. Islam, Alim Ulama dan Pembangunan, Jakarta: Pusat dakwah Islam Indonesia, 1971.
  44. Islam dan Kebatinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
  45. Mengembalikan Tasawuf ke Pangkalnya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.
  46. Beberapa Tantangan terhadap Umat Islam di Masa Kini, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
  47. Kedudukan Perempuan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.
  48. Muhammadiyah di Minangkabau, Jakarta: Nurul Islam, 1974.
  49. Tanya Jawab Islam, Jilid I dan II cet. 2, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
  50. Studi Islam, Aqidah, Syari’ah, Ibadah, Jakarta: Yayasan Nurul Iman, 1976.
  51. Perkembangan Kebatinan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1976.
  52. Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, cet. 8, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980.
  53. Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
  54. Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
  55. Lembaga Budi, cet. 7, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
  56. Tasawuf Modern, cet. 9, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
  57. Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian, Jakarta: Yayasan Idayu, 1983.
  58. Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
  59. Iman dan Amal Shaleh, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
  60. Renungan Tasawuf, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.
  61. Filsafat Ketuhanan, cet. 2, Surabaya: Karunia, 1985.
  62. Keadilan Sosial dalam Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1985.
  63. Tafsir al-Azhar, Juz I sampai Juz XXX, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.
  64. Prinsip-prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.
  65. Tuntunan Puasa, Tarawih, dan Idul Fitri, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1995.
  66. Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Jakarta: Tekad, 1963.
  67. Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
  68. Mengembara di Lembah Nil, Jakarta: NV. Gapura, 1951.
  69. Di Tepi Sungai Dajlah, Jakarta: Tintamas, 1953.
  70. Mandi Cahaya di Tanah Suci, Jakarta: Tintamas, 1953.
  71. Empat Bulan di Amerika, 2 Jilid, Jakarta: Tintamas, 1954.
  72. Merantau ke Deli, cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1977 (ditulis pada tahun 1939).
  73. Si Sabariah (roman dalam bahasa Minangkabau), Padang Panjang: 1926.
  74. Laila Majnun, Jakarta: Balai Pustaka, 1932.
  75. Salahnya Sendiri, Medan: Cerdas, 1939.
  76. Keadilan Ilahi, Medan: Cerdas, 1940.
  77. Angkatan Baru, Medan: Cerdas, 1949.
  78. Cahaya Baru, Jakarta: Pustaka Nasional, 1950.
  79. Menunggu Beduk Berbunyi, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
  80. Terusir, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
  81. Di Dalam Lembah Kehidupan (kumpulan cerpen), Jakarta: Balai Pustaka, 1958.
  82. Di Bawah Lindungan Ka'bah, cet. 7, Jakarta: Balai Pustaka, 1957.
  83. Tuan Direktur, Jakarta: Jayamurni, 1961.
  84. Dijemput Mamaknya, cet. 3, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
  85. Cermin Kehidupan, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
  86. Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, cet. 13, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
  87. Pembela Islam (Tarikh Sayyidina Abubakar Shiddiq), Medan: Pustaka Nasional, 1929.
  88. Ringkasan Tarikh Ummat Islam, Medan: Pustaka Nasional,1929.
  89. Sejarah Islam di Sumatera, Medan: Pustaka Nasional, 1950.
  90. Dari Perbendaharaan Lama, Medan: M. Arbi, 1963.
  91. Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, cet. 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
  92. Sejarah Umat Islam, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
  93. Sullam al-Wushul; Pengantar Ushul Fiqih (terjemahan karya Dr. H. Abdul Karim Amrullah), Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
  94. Margaretta Gauthier (terjemahan karya Alexandre Dumas), cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 komentar

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

Kenangan Tak Terlupakan

Hari menjelang pagi ketika bus yang kutumpangi telah sampai di kota Palembang. Aku merasa lelah dan masih terasa kantuk, karena sehari semalam di perjalanan sejak berangkat dari kota Depok untuk menuju kota yang selama ini hanya sebatas angan dan tak pernah kubayangkan akan kusinggahi. Betapa perjalanan yang kutempuh harus melalui sebuah perjuangan yang tak kenal lelah, ketika sebelumnya masih segar dalam ingatan bagaimana aku memohon kebijakasanaan kepada dua orang temanku yang baru saja menikmati jabatan struktural di kantor yang sama denganku. Perjuangan yang panjang memang telah menghasilkan sesuatu yang selama ini aku idam-idamkan, yakni keinginanku untuk menjadi seorang auditor sesuai dengan pendidikan yang telah aku terima beberapa tahun sebelumnya. Dikarenakan kawan-kawanku telah terlebih dahulu menikmati jabatan fungsional yang banyak diinginkan oleh semua orang di kantorku. Termasuk aku sendiri pun menginginkannya. Namun karena kebijakan waktu itu tidak kondusif, maka aku pun tak dapat memperjuangkannya. Panjangnya Birokrasi dan sistem politik yang membelenggu kebebasan berdemokrasi (berbeda pendapat) tidak memungkinkan setiap orang untuk berani mengajukan usulan apalagi tuntutan.

Namun semua itu telah berlalu. Hari kebebasan pun bisa aku nikmati saat ini. Aku berani mengajukan usulan dan tuntutan, meski hasil yang kan didapat tak bisa ditebak. Semua berpulang pada kebijaksanaan kedua kawanku tersebut. Alhasil setelah kutunggu-tunggu usulan dan tuntutan itu membuahkan kemenangan di pihakku. Dari hasil perjuanganku itu masih kurasakan ganjalan yang mengarah pada sentimen dari kawan-kawanku yang tak percaya bahwa usulan dan tuntutanku itupun terpenuhi. Mereka tak percaya dengan alasan bahwa usulan dan tuntutan itu harus keluar biaya dari diri sendiri. Bagi mereka mustahil, jika permintaan itu datang dariku dan dibiayai oleh dinas atau kantor, bukan dari kantongku sendiri. Tapi, apapun ocehan dan atau ucapan mereka, aku hanya menganggap ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’. Perduli amat mendengarkan ucapan mereka yang iri atau sentimen dengan usahaku. Terpenting bagiku adalah kenyataan yang kudapat memang demikian adanya. Titik.

Haripun telah menyongsong pagi dan tak lama lagi akan datang siang. Aku menjejakkan kakiku di bumi ‘Sriwijaya’, kata orang Palembang. Aku berharap, pagi yang cerah ini juga akan membawa cerah pula usahaku disini. Cita-cita telah kutanamkan pada jiwa dan batin ini, semoga aku mendapatkan kebahagiaan.

Hari pertama aku belum melakukan tugas atau kegiatan apapun di kantor yang baru. Aku hanya melapor kedatanganku kepada Kepala Perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan wilayah II Palembang. Waktu yang ada aku gunakan untuk berkenalan atau memperkenalkan diri kepada kawan-kawan baruku, meski ada juga beberapa kawan lamaku yang dulunya dari kantor di Jakarta, tetapi mereka pindah kesini telah lebih dulu dari aku. Ada kawanku yang kuanggap sukses setelah berpindah dari kantor Jakarta. Ini yang memotivasi, kalau akupun harus sukses seperti kawanku itu. Kawanku itu berinisial KD (yang beserta isteri dan anaknya pindah ke Medan sebelumnya). Ia sukses dengan memiliki rumah dan mobil sendiri (yang sebelumnya aku tahu kalau dia itu seperti apa). Aku melihat sisi positifnya dan dapat kupelajari sebagai bekal aku hidup disini. Aku tak mau hanya terpesona atau terpaku dengan keberhasilannya, bagiku langkah selanjutnya adalah menata hari-hari berikut yang akan aku lalui. Segala daya upaya akan aku lakukan untuk mencapai tujuanku.

Hari kedua aku masih seperti hari kemarin, belum melakukan kegiatan sebagimana layaknya bekerja di kantor. Aku saat itu masih memikirkan posisi aku yang belum mempunyai unit kerja, karena masih bersifat sementara, dimana keadaan kantor baru saja berbenah sehabis pindahan dari kantor yang lama di Jalan Demang Lebar Daun ke Jalan Kapten Anwar Sastro atau lebih dikenal dengan sebutan Jalan Lorong Kulit. Ya, jalan lorong kulit memang nama yang diberikan waktu itu dan orang-orang pun lebih kenal dan tahu nama jalan itu meski sudah berganti nama. Pada hari kedua aku meminta izin kepada atasanku untuk mencari tempat tinggal sementara sebelum keluargaku ikut bersamaku. Keluargaku masih tinggal di Kota Depok – Jawa Barat dikarenakan aku harus mencari tempat tinggal dan sekolah untuk mereka. Aku memiliki lima orang anak yang terdiri dari tiga orang puteri dan dua orang putera yang kesemuanya harus kuurus kebutuhannya. Aku mencari tempat penginapan/rumah sewa untuk keluargaku, yang menurut aku harus dekat dengan kantor dan juga sekolah anak-anakku. Selain itu biaya sewa yang tak terlalu mahal atau terjangkau. Karena aku belum mengerti seluk beluk Kota Palembang, ditambah lagi cerita-cerita yang kurang sedap tentang masyarakat palembang yang suka main ‘tujah’ atau tusuk. Benarkah demikian?

Dalam perjalan kisahku ini akan terjawab apa yang telah aku terima gambaran dari perilaku masyarkat Palembang yang ‘kriminal’ ternyata salah dan tak semuanya seperti itu. Di awal-awal aku singgah atau tinggal di Kota Palembang, perasaan was-was atau takut masih menempel dibenakku. Bila malam tiba, aku lebih banyak mengurung diri di dalam kamar, tapi sekali-sekali aku bercengkerama dengan teman satu kost, untuk mengusir kesendirianku di perantauan. Aku mulai memiliki teman. Aku mulai berkenalan dengan teman-reman satu kost. Satu persatu aku tahu siapa mereka. Ada yang bekerja di swasta, tapi kebanyakan adalah pegawai negeri sipil, termasuk teman sekantor yang bernama Zawernis Duko yang asal padang-Sumatera Barat dan Untoro yang asal Jawa.

O ya, aku bisa mendapatkan tempat kost-an karena jasa seseorang yang sebenarnya adalah atasanku di kantor. Beliaulah yang menunjukkan tempat kost-an tersebut kepadaku, yang ternyata sangat dekat dengan kantorku. Beliau telah meninggal dunia pada tahun 2007, setelah aku pindah di Lampung (Kota Bandar Lampung). Aku dan juga keluarga merasa ikut kehilangan atas berpulang kerahmatullahnya, karena beliau punya jasa yang tak kan pernah kami lupakan selamanya. Selama keberadaanku di kantor perwakilan di palembang, aku sangat terbantu dalam tugas-tugas pemeriksaan. Sebagai contoh, aku mendapat tugas hingga lima (5) kali dalam tahun 2005, sampai sampai banyak teman yang iri dan curiga dengan kedekatanku pada beliau itu. Sungguh aku dekat dengan bleiau karena faktor perteman/persahabatan dan juga kekeluargaan, sehingga murni tak ada maskud lain.

Hari demi hari kulalui, tak terasa tahunpun berganti. Banyak cobaan datang silih berganti. Kenyamanan dalam aku bekerja terasa semakin menurun, dikarenakan adanya tekanan, gunjingan, bahkan finahan yang datang mengahmpiriku....(bersambung)

“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: “Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?” Isa menjawab: “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib-gaib”. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan) nya yaitu: “Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu”, dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu.” (QS. Al Maaidah: 116-117).

Fauna

Fauna
Penguin yang cantik

Search

 
Posts RSSComments RSSBack to top
© 2011 Kesusasteraan Indonesia ∙ Designed by BlogThietKe | Distributed by Rocking Templates
Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0